get app
inews
Aa Text
Read Next : Barito Putera Bungkam Persebaya Surabaya di Liga 1 2022-2023, Skor 2-1

Alur Cerita Pemicu Retaknya Hubungan Antara Bung Karno dengan Bung Hatta

Sabtu, 02 Juli 2022 | 11:47 WIB
header img
Soekarno-Hatta. (Foto: iNews.id/ist)

SURABAYA, iNews.id - Presiden Soekarno dan Bung Hatta terkenal dekat hingga mendapat sebutan Dwitunggal. Namun, pada masa demokrasi parlementer, pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta tak lagi sejalan dan bahkan kerap berselisih paham.

Peristiwa pemecatan Sosrodanukusumo pada tahun 1955 oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I salah satunya. Tanpa berembuk dulu dengan Bung Hatta, Bung Karno tiba-tiba menandatangani surat pemecatan yang sudah disetujui Kabinet Ali.

Hatta menyesali langkah itu. Soekarno menurutnya tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Didorong semangat meletakkan aturan pada tempatnya, pada 25 Maret 1955 Bung Hatta berkirim surat kepada Bung Karno. Inti surat yakni mempertanyakan penandatanganan sekaligus mengingatkan arti Dwitunggal.

"Kalau Saudara memandang Dwitunggal-yang begitu banyak dibicarakan di waktu akhir ini-lebih dari show saja. Sebenarnya dalam hal-hal yang mengenai dasar-dasar negara Saudara sepatutnya berembuk dengan saya lebih dahulu, sebelum mengambil tindakan," demikian isi surat Bung Hatta seperti dikutip dari buku Deliar Noer, "Mohammad Hatta, Biografi Politik".   

Kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Bung Hatta juga meminta dilakukannya peninjauan ulang, karena alasan prosedur pemecatan yang tak wajar. Hatta menghubungkan pemecatan Sosrodanukusumo dengan prikemanusiaan dari Pancasila.

Bagi Hatta, pemecatan seorang pegawai tinggi, walau mengenai seseorang, hal itu sudah menyangkut dasar negara. Pada perkara Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman (1953-1955) di era Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Bung Karno dan Bung Hatta juga kembali berselisih paham.

Djody yang terjerat perkara penyelewengan (gratifikasi) dijatuhi vonis hukuman satu tahun penjara. Namun ahli hukum yang juga Ketua Umum Partai Rakyat Nasional (PRN) itu, kemudian diberi grasi Bung Karno. Bung Hatta tak bisa memahami jalan pikiran Bung Karno.

Silang pendapat antara Bung Karno dan Bung Hatta juga muncul dalam masalah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada tahun 1956 rapat DPR menghasilkan kesepakatan menyetujui terbitnya RUU tentang pembatalan perjanjian KMB. Perjanjian KMB dinilai tidak menguntungkan kedaulatan Indonesia.   

Mahkamah Agung berpendapat keputusan rapat DPR tersebut sah secara konstitusi. Namun Presiden Soekarno menolak menandatangani penerbitan RUU. "Desakan Hatta sebagai Wakil Presiden agar Presiden Soekarno menandatangani RUU tersebut tidak dipedulikan," kata Deliar Noer.

Riak-riak ketidaksepahaman pikiran Dwitunggal sebetulnya sudah tampak sebelum pelaksanaan Pemilu 1955. Jauh hari sebelum kampanye pemilihan umum digelar, Presiden Soekarno ikut berkampanye. Bung Karno yang tidak berpartai dan juga tidak dicalonkan dalam pemilu, berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, tahun 1953. Isi kampanyenya mengajak rakyat menolak gagasan negara Islam.  

Bagi Hatta hal itu kurang tepat. Dalam sistem kabinet parlementer. Apa yang dilakukan kepala negara dan wakil kepala negara tidak hanya harus diketahui dan disetujui kabinet. Tapi juga harus sejalan dengan kebijaksanaan kabinet. Sementara Bung Karno dianggap lebih suka memposisikan diri sebagai pemimpin rakyat dari pada Presiden konstitusional.

Bung Karno lebih suka berbicara atau berpidato langsung dengan rakyat di dalam rapat-rapat umum yang itu seakan lebih utama dari pada berpidato di depan DPR. Bung Karno juga dianggap kerap memasuki urusan yang menjadi wilayah kabinet. Dia pernah menuntut agar disetujui membakar semangat rakyat dalam menghadapi masalah Irian tahun 1950-1951.

"Tuntutan yang terpaksa secara tegas ditolak Perdana Menteri Natsir," tulis Deliar Noer dalam “Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (1987).

Di sisi lain Bung Karno menginginkan kabinet yang terbentuk dari hasil pemilihan umum 1955 bisa “berkaki empat”, yakni secara inti terdiri atas empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Sehingga ketika kabinet Ali Sastroamidjojo II terbentuk, Bung Karno tidak segera mengesahkannya. "Ia mencoba agar formatur Ali bisa menerima gagasannya untuk memasukkan PKI ke dalam kabinet". 

Editor : Boby

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut