Harta Karun Bawah Laut Karawang : Karang, Kapal VOC dan Harapan Nelayan Pesisir
KARAWANG, iNEWSKarawang.id – Senin pagi (8/9/2025) udara masih terasa dingin ketika rombongan kecil kami meninggalkan Kantor Pemda Karawang menuju Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan. Tidak seperti biasanya yang hanya mondar-mandir di kantor dinas, kali ini langkah terasa berbeda, saya diajak “blusukan” ke laut.
Perjalanan darat hampir satu jam membawa kami ke sebuah pelabuhan nelayan sederhana. Deretan kapal kayu terikat rapat di dermaga, aroma asin laut langsung menyambut begitu kaki menginjakkan tanah. Dari sinilah kisah perjalanan laut Karawang yang dulu terluka, kini berusaha sembuh, dimulai.
Di dermaga, kami disambut Dama, Ketua Kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS). Turut hadir pula Ahmad Salman Alfarisi, Associate Monitoring Pemulihan Environmental PHE ONWJ, dan Atikah Shahab, Community Development Officer PHE ONWJ. Mereka memperkenalkan program bernama Otak Jawara (Orang Tua Asuh Karang Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat), sebuah inisiatif CSR Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) untuk memulihkan ekosistem laut Karawang.
Ahmad Salman menjelaskan bahwa sejak 2022, tim PHE ONWJ bersama masyarakat lokal menanam kembali karang di perairan Tangkolak. Mereka menggunakan modul paranje – struktur beton berbentuk seperti kurungan ayam yang diletakkan di dasar laut untuk menjadi “rumah baru” bagi karang dan ikan. “Butuh hampir sebulan membuat satu modul paranje,” jelasnya.
Pekerjaan itu bukan hanya fisik, melainkan juga simbol kesungguhan menjaga laut. Hingga akhir 2024, tercatat 770 unit modul sudah ditanam, menumbuhkan 3.479 fragmen karang dan menambah populasi ikan hingga 950 ekor. Dari nemo mungil hingga ikan hias berwarna kuning cerah, semua kembali menghidupkan laut yang dulu rusak.
Siang itu, kami diajak naik kapal nelayan menuju gugus karang Sendulang. Ombak bergoyang ringan selama 30 menit perjalanan. Di atas kapal, entah kenapa saya merasa seperti nakama bajak laut Topi Jerami dalam anime One Piece, seakan sedang mencari harta karun Gol D. Roger. Bedanya, kali ini “harta karun” itu bukan emas atau permata, melainkan kehidupan laut Karawang yang perlahan pulih.
Sesampainya di lokasi, air laut menyingkapkan pemandangan yang mengejutkan: warna-warni karang yang tumbuh, ikan-ikan kecil yang berenang di antara celahnya. Memang tak semegah Bunaken, tetapi cukup membuat hati berdesir. Ada surga kecil di laut Karawang, yang dulu diremehkan, kini mulai bersinar.
Jujur, saya menyesal tak ikut snorkeling. Bukan karena enggan, melainkan karena tidak bisa berenang. Padahal melihat langsung ribuan fragmen karang yang berkembang sejak tiga tahun lalu tentu pengalaman berharga. Tapi meski hanya dari permukaan, keindahan itu sudah cukup meninggalkan kesan mendalam: laut Karawang punya masa depan.
Namun perjalanan ini bukan hanya soal keindahan. Ada luka lama yang membekas. Pak Dama bercerita bagaimana pada tahun 1970-an, masyarakat Tangkolak justru merusak laut mereka sendiri. Karang diburu besar-besaran untuk dijadikan pondasi rumah. Sehari, satu kapal bisa mengangkut hingga empat kubik karang. Bila dihitung setahun, kerusakan yang ditimbulkan sungguh luar biasa.
Tak hanya itu. Tak jauh dari lokasi transplantasi, terdapat bangkai kapal tua peninggalan VOC. Pada 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah melakukan penyisiran di wilayah ini. Mereka menemukan meriam, jangkar abad ke-18, hingga koin Eropa yang diduga bagian dari benda muatan kapal tenggelam (BMKT). Konon, kapal itu membawa upah buruh tanam paksa dari Priangan.

Pak Nanang Sa’i, warga setempat, masih mengingat masa kecilnya ketika banyak orang berburu “harta karun” di laut Tangkolak. Kolektor dari luar daerah bahkan sempat menetap demi membeli barang-barang antik hasil selaman warga. “Sekarang sudah tidak ada lagi, dulu ramai sekali,” kenangnya.
Cerita masyarakat itu ternyata sejalan dengan catatan sejarah. Pada awal abad ke-16, penjelajah Portugis Tomé Pires menulis buku Suma Oriental yang memuat laporan tentang perdagangan Asia Tenggara. Meski tidak menyebut langsung Karawang, sejumlah ahli sejarah seperti Uka Tjandrasasmita menafsirkan adanya pelabuhan di Muara Citarum. Dari sana, hasil bumi dari pedalaman diekspor melalui jalur perairan menuju Kerajaan Sunda.
Sejarawan Portugis lainnya, João de Barros, juga mencatat nama Karawang dalam bukunya Da Asia. Ia menulis bahwa Sunda memiliki enam pelabuhan besar, salah satunya Caravam atau Karawang. Bahkan, ekspedisi Belanda pertama ke Nusantara tahun 1596 mencatat Karawang sebagai desa nelayan besar bernama Cravaon, berada di pertemuan Sungai Citarum dengan laut yang bermuara di tiga cabang.
Pada masa VOC, nama Karawang muncul berkali-kali dalam catatan harian (daghregister). Disebut sebagai Carawangh, Cravaon, atau Craoanyan, wilayah ini menjadi pintu penting bagi perdagangan, sekaligus saksi bisu pergulatan kolonial di tanah Jawa.
Kini, laut Tangkolak perlahan menemukan kembali jati dirinya. Jika dulu menjadi lokasi eksploitasi, kini ia sedang diselamatkan lewat program Otak Jawara. Karang yang dulu diambil untuk pondasi rumah, kini justru ditanam kembali untuk pondasi kehidupan laut.
Pak Dama dan Pak Nanang berharap gugus karang Sendulang kelak bisa menjadi destinasi wisata bahari. Tidak hanya indah, tetapi juga menghidupi masyarakat pesisir. Dengan begitu, laut Karawang bukan lagi sekadar halaman belakang yang dilupakan, melainkan etalase kebanggaan daerah.
Bagi saya pribadi, perjalanan singkat ini meninggalkan pelajaran penting. Alam bisa rusak oleh keserakahan manusia, tapi ia juga bisa pulih bila dirawat dengan kesungguhan. Harta karun sejati bukanlah koin VOC atau benda antik, melainkan karang yang kembali hidup, ikan yang kembali berenang, dan harapan masyarakat yang kembali tumbuh.
Dan suatu saat nanti, jika diberi kesempatan kembali, saya berjanji tak hanya melihat dari permukaan, tetapi ikut menyelam, menyapa lebih dekat keindahan karang yang kini tumbuh kembali di laut Karawang.
Editor : Frizky Wibisono