memasang aplikasi salat di ponsel pintar masing-masing. Kemudian ya saling mengingatkan sesama Muslim untuk jam-jam salat, mulai puasa lagi dan berbukanya.
“Juga harus sering membawa sajadah saat ada kelas maupun berpergian. Secara pribadi, saya merasa tertantang dan lebih tawadu kepada Allah swt. Intinya di sini, istiqomah saja yang kuat,” bebernya.
Sementara bagi Mentari Puspa Ferisa, WNI yang berkuliah di Beijing, menjalani puasa di negeri orang cukup merepotkan. Sebab ketika jam makan tiba, semua orang mengajak makan dan dia merasa tidak tahu harus bilang apa.
“Karena kalau saya pakai alasan sedang diet, nanti dibilang sok. Tapi kalau jujur bilang lagi puasa, nanti ditanya-tanya itu apa. Malas jelasinnya,” tutur Puspa.
Alhasil, seperti Wino, bagaimanapun Puspa tetap harus menolak karena ditawarin kan enggak juga menolaknya. Sementara kalau diiyakan, tentu menyalahi ajaran agamanya.
“Mau tolak enggak enak, tetapi enggak boleh makan juga. Jadi saya biasa bilang, ’Oh maaf, saya enggak suka’. Tapi jawab begini juga risikonya nanti setelah bulan puasa lewat, mereka tidak menawarkan lagi ke saya karena tahu saya tidak suka. Kalau begini, rasa ribet dan sedih jadi satu,” curhatnya.
Tak jarang, Puspa juga terpaksa melewatkan jam makan malam bersama teman-temannya. Pasalnya, jam berbuka di China itu berbeda dengan di Indonesia. Kalau di Jakarta buka sekira pukul 17.50, di Beijing puasanya 16,5 jam dan baru buka sekira pukul 19.33
Editor : Frizky Wibisono