KARAWANG, iNEWSKarawang.id – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Karawang, Suhlan Pribadi, memperingatkan dampak serius aktivitas buzzer politik terhadap media dan kualitas demokrasi.
Menurutnya, buzzer kini menjadi alat propaganda yang mengaburkan fakta dan menggiring opini publik demi kepentingan kelompok atau tokoh tertentu.
“Buzzer bukan penyampai kebenaran. Mereka memoles narasi, memelintir data, lalu menyebarkan melalui sosial media. Publik hanya disuguhkan persepsi, bukan informasi dan verifikasi yang jelas,”tegas Suhlan, Senin (19/5/2025).
Suhlan menilai keberadaan buzzer memperparah polarisasi. Kritik dianggap serangan, sementara pencitraan diterima mentah-mentah oleh masyarakat yang minim literasi digital.
"Yang berbahaya itu ketika masyarakat terlalu mudah percaya, dan saat muncul kritik, malah dianggap serangan. Ini membuat demokrasi tidak sehat," kata Suhlan.
Suhlan juga menyoroti perubahan drastis dalam ekosistem media. Transisi dari media cetak ke digital, hingga ke media tanpa redaksi, menyebabkan algoritma bukan jurnalis menentukan apa yang layak dibaca.
“Dulu wartawan yang kurasi berita, sekarang mesin algoritma. Siapa yang kuasai algoritma, dia kuasai narasi,”ujarnya.
Dominasi platform seperti Google, TikTok, dan X (dulu Twitter), menurutnya, telah menyingkirkan peran media lokal. Bahkan, sejumlah kepala daerah kini lebih memilih bayar buzzer viral ketimbang bekerja sama dengan media resmi.
"Banyak kepala daerah yang kini memangkas anggaran kerja sama dengan media, dan lebih memilih bayar buzzer yang viral di TikTok. Ini melemahkan apresiasi terhadap kerja jurnalistik," tegasnya.
Suhlan menyerukan agar jurnalis tetap teguh pada etika profesi: memverifikasi, berimbang, dan akurat. Suhlan juga mengingatkan publik untuk tidak menjadi korban algoritma.
“Jangan asal percaya dan share. Kebenaran tidak diukur dari jumlah likes atau views. Demokrasi butuh publik yang kritis, bukan yang mudah dibohongi,” pungkasnya.
Editor : Frizky Wibisono
Artikel Terkait