Carut-Marut Pengelolaan TPI Karawang

Iqbal Maulana Bahtiar
Carut-Marut Pengelolaan TPI Karawang. Foto : Istimewa.

KARAWANG, iNewsKarawang.id – Di balik kehidupan nelayan yang menggantungkan nasibnya pada laut, terselip kisah panjang mengenai pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI) di Karawang yang carut marut hingga minim memberikan sumbangsih (retribusi) bagi Pemerintah Daerah meskipun sebenarnya memiliki potensi perikanan yang tinggi.

Carut marut pengelolaan TPI di Karawang menjadi warisan yang terus berpindah tangan hingga anak cucu karena tak ada penyelesaian yang benar-benar tuntas.

Sejak bertahun-tahun lalu, TPI di Karawang menjadi bagian penting dalam roda perekonomian masyarakat pesisir. Namun, kondisi saat ini justru memprihatinkan. Dari 12 TPI yang ada, hanya sembilan yang masih aktif. 

Lebih miris lagi, hanya dua di antaranya yang benar-benar berstatus sebagai aset milik pemerintah daerah. Sisanya, berdiri di atas lahan milik warga, Perhutani dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Wawan, Kasubag TU UPTD PPI Dinas Perikanan Karawang, mengakui bahwa sebenarnya persoalan ini bukan hal baru. Kadaan ini sudah berlangsung sejak lama sebelum dirinya duduk di kursi Pemerintahan yang membidangi Perikanan.

“Dari dulu memang ada masalah dengan kepemilikan lahan TPI. Belum lagi, kasus penyalahgunaan retribusi di TPI Ciparage pada tahun 2022 semakin memperkeruh keadaan,”ujarnya.

Pendapatan Daerah Tak Maksimal

Persoalan pengelolaan TPI tak hanya sebatas kepemilikan lahan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya bertambah dari sektor ini justru menurun drastis. Sejak September 2024, retribusi dari TPI Ciparage yang sebelumnya menjadi penyumbang pendapatan daerah tak lagi bisa masuk ke kas pemerintah.

“Dari target Rp 700 juta di tahun 2024, kami hanya mampu mencapai 36,9 persen. Tahun sebelumnya juga sama, target Rp 720 juta hanya tercapai sekitar 30 persen,”tegas Wawan, menampakkan ekspresi bingung.

Lemahnya sistem pengelolaan dan pengawasan membuat praktik penyimpangan semakin mudah terjadi. Tak hanya itu, pola jual beli ikan di kalangan nelayan juga turut memperumit keadaan.

Nelayan Terjebak Hutang, Tengkulak Berkuasa

Di balik angka-angka yang tidak sesuai harapan, ada fakta lain yang tak kalah pelik: para nelayan lebih memilih menjual ikan mereka kepada tengkulak daripada melalui TPI. Alasannya sederhana, "hutang".

“Satu TPI seharusnya bisa mendapatkan Rp 5 juta dari retribusi pelelangan. Tapi, karena nelayan lebih memilih menjual ke tengkulak akibat urusan utang-piutang, pendapatan TPI berkurang Rp 2 juta,”ungkap Wawan, masih dengan ekpresi bingungnya.

Kondisi ini menciptakan siklus ketergantungan yang sulit diputus. Nelayan membutuhkan modal untuk melaut, tetapi akses ke permodalan yang lebih baik sangat terbatas. Akibatnya, mereka terjerat utang kepada tengkulak yang kemudian membuat mereka harus menjual hasil tangkapannya di luar TPI.

Harapan Baru untuk Nelayan

Masalah ini tentu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Wawan berharap adanya sinergi antara pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk menuntaskan permasalahan ini.

“Banyak ‘mafia’ yang bermain di dalamnya. Kami berharap ada solusi konkret yang bisa menguntungkan semua pihak, terutama nelayan,” tegasnya.

Saat ini, harapan satu-satunya adalah keterlibatan berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik. Nelayan, koperasi, dan pemerintah perlu duduk bersama untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan. 

"Jika tidak, bukan tidak mungkin permasalahan ini akan terus menjadi warisan yang tak kunjung terselesaikan," tandasnya.

Editor : Frizky Wibisono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network