JAKARTA - iNewsKarawang. id
Peristiwa ledakan dahsyat di kamp pengungsi Al-Maghazi di Jalur Gaza tengah menewaskan puluhan orang dan banyak lagi yang terluka pada Sabtu (4/11/2023) malam.
Direktur Komunikasi Rumah Sakit Al-Aqsa, Mohammad al Hajj, mengatakan kepada CNN bahwa ledakan tersebut disebabkan oleh serangan udara Israel. "47 orang tewas,"ujar Kementerian Kesehatan yang dikuasai Hamas di Gaza.
Berbeda dengan angka yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, menurut Direktur rumah sakit, Dr Eyad Abu Zaher, pada Minggu (5/11/2023) malam mengatakan 52 orang telah terbunuh.
"Salah satu rumah di kamp itu dihantam. Rumah ini dipadati penghuninya. Penduduknya dibom saat mereka masih aman di rumah mereka,” terang Kepala keperawatan Dr. Khalil Al-Daqran.
Militer Israel belum memberikan komentar mengenai apakah mereka menargetkan wilayah tersebut. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan pihaknya sedang menyelidiki keadaan di sekitar ledakan tersebut.
“Kami sedang duduk di rumah, tiba-tiba kami mendengar suara ledakan yang sangat, sangat dahsyat. Itu mengguncang seluruh area, semuanya,” terang salah satu penghuni kamp mengatakan kepada CNN:
Dr. Al-Daqran mengatakan video yang diambil di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa menunjukkan banyak jenazah dibaringkan di bawah terpal putih, termasuk sosok kecil yang diyakini anak-anak, dan masih banyak lagi jenazah yang masuk dari kamp pengungsi Al-Maghazi.
Dia mengatakan rumah sakit tersebut tidak memiliki fasilitas untuk menerima tingginya jumlah pasien, dan kekurangan bahan bakar serta persediaan membuat perawatan yang terluka tidak dapat dilakukan secara memadai.
“Jumlah orang di dalam rumah sakit yang membutuhkan perawatan lebih dari dua kali lipat jumlah tempat tidur di rumah sakit,” lanjutnya.
Seperti diketahui, IDF telah menggempur Gaza selama empat minggu dengan tujuan memusnahkan Hamas, yang pejuangnya melanggar perbatasan Israel pada 7 Oktober, menewaskan 1.400 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.
Israel telah berulang kali mendesak warga sipil untuk pindah ke selatan Wadi Gaza karena Israel meningkatkan serangan udara dan darat di jalur tersebut.
Setidaknya 9.472 orang telah tewas dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober, menurut angka yang dirilis pada Minggu (5/11/2023) oleh Kementerian Kesehatan Palestina di Ramallah yang diambil dari sumber di daerah kantong yang dikuasai Hamas.
Jurnalis Muhammed Alaloul mengatakan kepada CNN pada Minggu (5/11/2023) bahwa ledakan tersebut menewaskan empat anaknya dan tiga saudara kandungnya.
Alaloul, seorang jurnalis foto lepas di kantor berita Turki Anadolu Agency, mengatakan rumahnya hancur akibat serangan udara Israel yang menargetkan kamp pengungsi Al-Maghazi.
Pejabat rumah sakit di Gaza juga mengaitkan ledakan tersebut dengan serangan udara Israel.
Video dari lokasi kejadian menunjukkan kerusakan parah, banyak bangunan rusak atau hancur.
“Saya melihat anak saya Kenan, putri saya Rahaf, saya melihat Ahmad anak saya dan Qais. Aku melihat ketiga saudaraku menjadi martir; Saya melihat teman-teman yang berada di rumah saya menjadi martir,” kata Alaloul.
“Rumah saya hancur total. Tempat itu penuh dengan anak-anak, dan sekarang, masih ada orang yang terjebak di reruntuhan di daerah yang tidak dapat kami jangkau.”
Dia mengatakan istri, ibu, ayah dan anak lainnya terluka. Istrinya terluka parah dan dirawat di unit perawatan intensif.
Kamp pengungsi Al-Maghazi terletak di bagian tengah daerah kantong pantai selatan Wadi Gaza, jalur air yang membelah Gaza utara dan selatan.
Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA), kamp tersebut dipenuhi dengan gang-gang sempit, tempat tinggal 33.000 orang sebelum konflik, di wilayah yang relatif padat dengan luas tidak lebih dari 0,6 kilometer persegi.
Jamal Al Aloul, warga Al-Maghazi, mengatakan dia sedang tidur nyenyak ketika tiba-tiba “seluruh bangunan menimpa kami.”
Ia mengatakan kedua anaknya tewas dalam ambruknya gedung tersebut namun ia tidak mengetahui siapa lagi yang tewas karena banyak orang yang tinggal di dalam gedung tersebut.
Penghuni kamp lainnya, Samah Shaqoura, mengatakan kepada CNN bahwa keluarganya sedang duduk di ruang tamu, tertawa dan mengobrol bersama ketika rumah mereka dibom.
“Saya lihat lampu merah, lalu kami gemetaran di sofa, saya lihat semua adik saya teriak-teriak. Ketika saya menemukan diri saya masih hidup, saya mencari siapa yang masih hidup,” katanya.
Dia mengatakan beberapa saat kemudian dia menemukan ayahnya meninggal.
Ibunya, Sundos Shaqura, mengatakan seluruh rumah tiba-tiba runtuh menimpa mereka, saat mereka berbagi teh setelah salat magrib.
Krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza telah memicu kritik global terhadap Israel, bahkan beberapa sekutu terdekatnya menyerukan penghentian pertempuran – baik jeda kemanusiaan atau gencatan senjata – agar bantuan dapat menjangkau warga sipil.
Editor : Boby
Artikel Terkait