KARAWANG, iNewsKarawang.id - Ibu-ibu pedagang kaki lima di Pasar Rengasdengklok mengaku terbebani dengan harga kios di Pasar Proklamasi. Bahkan untuk mencicil uang muka 30 persen saja mereka mengaku tidak sanggup.
“Kami pedagang kecil. Ibaratkan dengan harga (kios) Rp200 juta, memang 30 persen uang muka ke PT VIM (Visi Indonesia Mandiri), yang 70 persen dilimpahkan ke bank. Tapi itu kalau situasinya ramai (oleh pembeli). Kan belum tentu. Bagaimana kalau kami pindah situasinya lebih anjlok dari ini? Sedangkan uang (cicilan) setiap hari harus masuk. Kami mau makan apa?” kata Siti Jubaedah (40), diamini Engkom (48), pedagang kaki lima yang menjajakan bumbu dapur.
Siti mengakui, skema cicilan per hari yang ditawarkan PT VIM masih memberatkan dirinya dan rekan seprofesinya.
“Kami hanya pedagang kaki lima. Dagangan berapa untungnya? Sehari kalau ramai kadang Rp100 ribu, kadang kalau sepi tidak ada pemasukan. Kami juga ada pengeluaran untuk belanja, biaya risiko, makan, jajan anak. Sedangkan di sana (Pasar Proklamasi) dibebani satu bulan (menyicil) minimal sekian juta rupiah,” kata ibu empat anak ini kepada wartawan.
Pedagang kaki lima menawarkan skema enam bulan gratis. Singkatnya, mereka menempati kios di sana selama enam bulan tanpa biaya.
“Enam bulan dibebaskan dulu, setelah itu bagaimana ke depannya. Itu lebih baik,” katanya.
Pada dasarnya pedagang kaki lima tidak menolak untuk pindah ke Pasar Proklamasi. Dengan catatan, pemerintah memberikan solusi atas harga jual kios yang tidak terjangkau kantong pedagang.
“Kalau kita dihadapkan dengan kondisi seperti ini, jangankan bayar (cicilan) satu bulan, satu hari pun sudah mikir. Kita bukan hewan, kita manusia. Kami setuju pindah, tapi jangan dibebani. Tolong Pemda bijaksana, lebih mementingkan rakyat. Nangis pedagang kecil ini,” imbuh Siti.
Pedagang juga menyesalkan keributan yang terjadi sebagai buntut dari relokasi. Keributan itu membuat pelanggan mereka enggan berbelanja ke pasar. Akibatnya, omzet mereka menurun.
“Sekarang yang belanja pada takut. Tidak ada yang belanja dari pagi. Yang belanja baru mulai mau ke pasar, dengar-dengar ada demo, pulang lagi. Yang ada kita susah.”
“Kalau sampai anarkis (ribut) seperti ini, kata saya, tidak bagus. Anarkis seperti ini karena di sana (pemerintah) tidak mengerti kita. Kayak kemarin (pedagang) yang di sana diobrak-abrik (direlokasi), mereka butuh makan, anaknya butuh jajan. Mereka (jadi) tidak jualan, (karena) dipindahkan ke sana, sedangkan mereka masih di sini. Dari mana penghasilan mereka?” katanya.
Editor : Boby
Artikel Terkait