Kisah Imas Terkubur Reruntuhan Gempa : Dituntun Cahaya saat Pasrah Menunggu Ajal

Fahmi Firdaus , Okezone
Kisah Imas tertimpa bangunan pascagempa bumi di Cianjur. (Foto: iNews.id)

CIANJUR, iNewsKarawang.id - Imas serta suami dan dua anaknya sudah tiga hari tidur di tenda beralas terpal yang berada satu blok dari rumahnya. Tenda pengungsian itu berdiri di atas tanah bebatuan yang tidak rata.

Rumah Imas hancur lebur digoncang gempa bumi M5,6. Ia dan puluhan warga lain terpaksa mengungsi di tenda tersebut.

Imas Masnguneh (39) ingat setiap detail gempa bumi yang membolak-balikkan hidupnya dan ribuan korban lain. Ketika gempa terjadi, ia sedang mengajar di reruntuhan sekolah Diniyah Hasadah, Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Perasaan campur aduk, antara takut, pasrah dan ikhlas menyelimuti dirinya. Dalam posisi tertimbun reruntuhan yang gelap ia sudah pasrah jika memang takdirnya untuk bertemu Ilahi, namun ada rasa syukur menggelayut di hatinya, karena bangunan sekolah dua lantai yang ambruk itu menyisakan ruang kecil untuknya bisa tetap bernafas meski gelap.

Balok kayu bagian atap bangunan sekolah itu melintang persis di depannya, sehingga menyisakan ruang bagi tubuh Imas tidak terhimpit oleh material bangunan yang porak poranda.

Guncangan gempa yang dahsyat, hingga dirinya tertimbun dalam bangunan sekolah membuatnya trauma. Sejenak kengerian itu menghampiri pikirannya hingga ia meneteskan air mata.

Di antara timbunan bangunan itu, ketika dirinya pasrah dengan takdir Allah, Imas melihat selingkaran jari tangan cahaya putih yang memberinya harapan untuk berjuang keluar dari reruntuhan.

Imas yang tadinya sudah pasrah terbaring menunggu kematian, mencoba menggerakan tubuhnya, menggali sedikit demi sedikit puing-puing bangunan menggunakan kedua tangannya dengan penuh hati-hati menuju cahaya terang tersebut.

Lengan tangan kanannya meninggalkan tanda memar biru kehitaman, menunjukkan perjuangannya keluar dari reruntuhan. Imas diselamatkan oleh sang suami Uun Supatoni (42) yang menyadari istrinya tidak kembali ke rumah usai gempa dengan magnitudo 5,6 mengguncang tanah kelahirannya.

“Suami yang menyelamatkan saya, karena belum ada relawan sebanyak ini yang datang waktu itu,” kata Imas.

Imas adalah salah satu guru yang mengajar dengan bayaran seikhlasnya di Diniyah Hasadah, milik tetangga di kampungnya. Ia mengajar siswa kelas dua dan kelas tiga, dengan sekitar 20 murid.

Pada saat gempa terjadi, Imas merasa bersyukur tidak ada anak muridnya yang menjadi korban dan terjebak di reruntuhan gempa. Karena pada hari itu, Senin (21/11) setelah rapat sekolah, wanita lulusan pondok pesantren itu meminta semua muridnya untuk keluar dari ruang belajar.

Selesai rapat, Imas duduk di lantai ruang Paud yang menerapkan konsep belajar tidak menggunakan meja dan kursi itu. Di tengah istirahatnya, gempa menerjang seperkian detik disusul lampu mati dan bangunan sekolah ambruk.

“Dalam hati bersyukur, untungnya anak-anak sudah saya suruh keluar duluan sebelum gempa terjadi. Jadi tidak ada murid-murid saya yang ketimpa bangunan sekolah,” ucapnya lirih.

Keselamatan murid-muridnya itu yang membuat hatinya lega, dan menguatkan diri untuk melawan keadaan, berjuang keluar dari reruntuhan.

Tak lama ketika berusaha untuk menggali puing-puing reruntuhan guna mencari jalan keluar dari bangunan sekolah, Imas mendengar suara suaminya memanggil namanya.

Panggilan suami disahut oleh Imas, memberitahukan dirinya baik-baik saja dan sedang berupaya mencari jalan keluar.

Imas kemudian bergerak menuju cahaya putih yang dilihatnya tadi. Cahaya itu menuntunnya bergerak ke arah dinding belakang bangunan sekolah. Dari luar bangunan tangan suaminya meraih tangan Imas hingga keduanya kembali berkumpul bersama kedua putrinya.

Trauma dan kedukaan Imas tak berhenti sampai di situ, setibanya di rumah bercat kuning yang ia bangun bersama suami hasil bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi ditemui dalam kondisi separuh bangunan ambruk, menyisakan retakan yang tidak aman untuk ditinggali.

Konsep pasrah yang telah ia sematkan di hati ketika berada di reruntuhan, tersemat di hati hingga ikhlas menerima takdir. Baginya, yang terpenting suami dan anak-anaknya selamat.

“Mau gimana lagi, yang penting selamat dululah, rumah udah hancur ya mau gimana lagi,” ucapnya.

Seperti kebanyakan warga kampungnya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Imas dan suami sebelumnya pernah bekerja di salah satu rumah keluarga Arab. Ia menjadi asisten rumah tangga, sedangkan suaminya bekerja sebagai sopir.

Di wilayahnya tersebut kata Imas banyak warga yang berprofesi sebagai TKI atau buruh migran. Hasil bekerja sebagai TKI, Imas dan suami berhasil menabung uang lebih dari Rp100 juta. Uang tersebutlah yang digunakan untuk membangun rumah di kampung halaman.

Selama bekerja di Arab Saudi, Imas selalu memimpikan bisa kembali ke kampung dan bekerja di negara sendiri. Sebesar apapun gaji bekerja di luar negeri, tak senyaman tinggal dan bekerja di negara sendiri.

Imas memutuskan kembali ke Indonesia setelah rumahnya terbangun, kemudian dia mengabdikan diri sebagai guru diniyah (sekolah berbasis agama) yang kadang digaji, kadang dibayar seikhlasnya. Baginya, bekerja mengajar murid-murid seikhlasnya sebagai ladang amal ibadah.

Bekerja sebagai TKI di Riyadh membuatnya fasih berbahasa Arab. Pelajaran ini yang diajarkannya kepada murid-murid.

Hari ketiga setelah gempa, Imas dan puluhan, bahkan ratusan warga di Kampung Rawacina menantikan bantuan, utamanya hunian, karena hampir 90 persen permukiman warga rusak parah diguncang gempa.

Hampir semua penyintas gempa sudah mendapat distribusi logistik berupa beras, mi instan, susu, minyak goreng dan bahan makanan lainnya. Namun warga masih hidup dalam keprihatinan. Mereka belum bisa bebas mandi, cuci kakus, karena aliran air mati di wilayah tersebut, tidak ada penerangan dan pakaian ganti.

Imas bercerita pernah ingin mengambil pakaian ganti dari dalam rumahnya, namun pintu kamarnya tidak bisa terbuka, ditambah gempa susulan yang terjadi Rabu (23/11) dengan magnitudo 3,9 menambah parah kerusakan rumahnya.

Sudah tiga hari pula Imas masih mengenakan baju seadanya. Ia dan warga lain menjalani hari dengan kepasrahan sambil menunggu bala bantuan.

Imas mengaku belum mendapatkan informasi terkait bantuan gempa bagi warga yang rumahnya ambruk apakah akan dapat diganti atau tidak. Namun, ia berharap bisa membangun kembali rumahnya dan menjalani hidup seperti sedia kala seperti sebelum diguncang gempa.

Editor : Faizol Yuhri

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network