Kitab Tua Laut Tangkolak, dari Halaman yang Robek Menuju Bab Penebusan

KARAWANG, iNEWSKarawang.id - Laut adalah kitab tua yang tak pernah selesai dibaca. Halaman-halamannya adalah ombak, huruf-hurufnya adalah ikan, dan paragraf-paragrafnya adalah terumbu karang. Ia menyimpan sejarah lebih panjang dari usia manusia, dan setiap goresan di tubuhnya adalah jejak pilihan kita sendiri.
Di Pantai Tangkolak, Karawang, halaman itu sempat robek. Bertahun-tahun manusia menulis dengan tinta salah, hasilnya, limbah sampah, pencemaran, dan kapal karam yang menutup karang. Airnya keruh, jarak pandang hanya sejengkal, seakan menyembunyikan aib memalukam yang tak ingin disingkap. Banyak yang mengira buku itu telah selesai, bahwa laut Tangkolak hanya akan tinggal kenangan tentang apa yang pernah ada.
Namun, ternyata laut punya ingatan yang lebih panjang dari rasa putus asa manusia. Dan di sinilah kisahnya mulai berbalik.
Tahun 2019, seorang ilmuwan datang. Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si., ahli terumbu karang dari IPB, ditugaskan meneliti dampak kebocoran pipa. Dalam hatinya, ia tak percaya ada kehidupan di sini.
“Airnya keruh, jarak pandang cuma satu meter. Dalam hati bertanya, emang ada karang di sini?”kenangnya.
Namun saat ia menyelam lebih dalam, keraguannya pecah. Di balik air gelap, muncul struktur karang besar, tua, dan diam, seolah menyimpan rahasia usia ratusan tahun. Laut Tangkolak ternyata bukan kuburan, melainkan arsip tua yang sabar menunggu halaman baru ditulis.
Di titik itu, keraguan berubah menjadi cahaya. Manusia diberi tanda bahwa laut masih bersedia memberi kesempatan kedua.
Kesempatan itu diwujudkan melalui program Orang Tua Asuh Karang Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat (Otak Jawara) yang digagas Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) sejak 2022.
Ini bukan sekadar proyek rehabilitasi. Ia lebih menyerupai ritual penebusan, upaya kolektif untuk mengakui kesalahan dan menebusnya dengan kesabaran. Akademisi, nelayan, pemerintah, dan warga pesisir duduk bersama, menjahit robekan sejarah laut yang pernah mereka rusak.
Hasilnya tak kecil, lebih dari 400 bibit karang ditanam, dengan tingkat keberhasilan hidup mencapai 90 persen. Di laut keruh yang dulu dianggap mustahil, kehidupan baru justru menemukan pijakan.
"Projek ini untuk masa depan, untuk anak cucu kita, ini harus kita rawat dengan hati,"tururnya.
Di tengah strategi rehabilitasi, lahirlah sebuah inovasi bernama Paranje, sebuah struktur beton berbentuk kurungan ayam berkaki tiga. Ia kokoh menahan ombak, dan rongganya menjadi ruang teduh bagi ikan-ikan kembali bermain.
“Butuh hampir sebulan membuat satu modul paranje,” jelas Ahmad Salman Alfarisi, Associate Monitoring Pemulihan Environmental PHE ONWJ.
Hingga akhir 2024, tercatat 770 paranje telah ditenggelamkan, menumbuhkan 3.479 fragmen karang dan memanggil pulang hampir 950 ekor ikan.
Jika manusia membutuhkan rumah untuk merasa aman, laut pun ternyata membutuhkan arsitektur kasih sayang. Paranje adalah rumah baru, tetapi juga metafora bahwa setiap makhluk hidup hanya bisa bertahan bila ada ruang untuk kembali.
Di daratan, perubahan tak kalah dramatis. Nurhasan, Plt Kepala Desa Sukakerta, menyaksikan warganya berubah arah.
“Dulu masyarakat ada yang jadi pelaku kerusakan. Sekarang justru jadi pelestari. Ini bukan hanya proyek, tapi gerakan perbaikan masa depan,”ujarnya.
Inilah filosofi paling sederhana dari laut, dimana manusia bisa saja salah, tapi ia juga bisa belajar. Kerusakan bukan akhir, melainkan titik balik. Laut menerima tebusan itu dengan bahasa paling sunyi, ketika pertumbuhan karang laut kembali, ikan-ikan kecil, dan warna-warna baru juga akan kembali menyala didalam air keruh itu.
Muzwir Wiratama, General Manager PHE ONWJ, menegaskan,"Ini bukan program seremonial. Kami ingin masyarakat mandiri menjaga dan melanjutkan, agar laut ini tetap punya masa depan."tuturnya.
Masa depan itu tidak lahir dalam sekejap. Karang tumbuh milimeter demi milimeter, sama seperti perubahan yang tumbuh dari hati manusia. Butuh tahun-tahun panjang untuk melihat hasilnya. Namun justru di situlah keindahannya, ketika laut mengajarkan manusia filosofi waktu.
Jika pohon adalah lambang kesabaran darat, maka karang adalah lambang kesabaran laut. Ia tidak tergesa, tetapi ia teguh. Ia menolak menyerah pada kerusakan, asalkan ada tangan-tangan yang sabar menjaga.
Tangkolak kini bukan lagi kisah kerusakan, melainkan cermin. Ia memantulkan wajah manusia, seakan menjelaskan bahwa kita bisa merusak, tetapi juga bisa memperbaiki. Bahwa kita bisa serakah, tetapi juga bisa berbagi.
Anak-anak pesisir kini belajar bahwa karang bukan batu mati, melainkan makhluk hidup. Mereka tumbuh bersama kesadaran bahwa laut bukan warisan yang bisa dihabiskan, melainkan titipan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Dan di dasar laut yang keruh itu, ada pesan filosofis yang tak pernah terbayangkan, bahwa kehidupan bisa lahir kembali di tempat paling putus asa, asalkan ada kesungguhan, kolaborasi, dan cinta.
Jika laut bisa menulis, mungkin ia akan berkata: "Aku pernah sabar, lalu marah. Aku pernah memberi, lalu kehilangan. Tapi kalian datang kembali, membawa bibit kecil yang tumbuh jadi harapan. Aku menerima. Karena aku tahu, sebagaimana kalian, aku pun ingin terus hidup."
Di Tangkolak, Karawang, laut dan manusia menulis bab baru bersama. Bukan kisah kehancuran, melainkan kisah penebusan. Dan dari karang-karang muda itu, kita belajar satu hal, bahwa yang paling indah dari kehidupan bukanlah kesempurnaan, melainkan kesempatan kedua.
Editor : Frizky Wibisono