20 Tahun Penantian Nenek Henny Menunggu Ganti Rugi Tanahnya yang Dijadikan Jalan Penghubung

KARAWANG, iNEWSKarawang.id – Deru kendaraan yang melintas di jalan penghubung Karawang-Bekasi tak pernah berhenti. Jalan itu menjadi akses vital bagi ribuan orang setiap harinya. Namun, di balik aspal yang mulus, tersimpan kisah pilu yang telah terpendam selama 20 tahun.
Salah satunya adalah kisah Henny Yulianti (60), warga Batujaya, Karawang, yang hingga kini masih menunggu ganti rugi atas tanahnya yang tergusur.Saat ditemui pada Sabtu (22/3/2025), Henny tak kuasa menahan tangis.
Baginya, jalan itu bukan sekadar jalur penghubung, melainkan saksi bisu atas kehilangan yang tak pernah tergantikan.
Pada 2005, Henny, seorang janda dengan tiga anak, dipaksa untuk melepas tanahnya seluas 426 meter persegi demi pembangunan jalan. Saat itu, ia meminta ganti rugi sebesar Rp 230 ribu per meter, tetapi pemerintah hanya menawar di bawah Rp 100 ribu.
“Ibu nolak ketika itu, tapi kata orang pemdanya, ‘Ya silakan, nanti kita buat naik aja jalannya di atas rumah ibu,’” kenang Henny dengan suara bergetar.
Ancaman penggusuran semakin nyata ketika alat berat mulai dikerahkan. Dalam kondisi terdesak, Henny dipaksa menandatangani kuitansi kosong sebanyak tiga kali. Sebagai warga awam, ia tak menyadari bahwa tanda tangannya berarti persetujuan pembayaran.
“Saya kan nggak tahu, ya. Awam, ya. Waktu itu saya tanda tangan di blangko kosong. Kalau nggak diterima, rumah saya mau diratakan pakai beko,” katanya lirih.
Namun, bukan hanya nilai ganti rugi yang jauh dari harapannya, pembayaran pun dilakukan secara dicicil. Akibatnya, setelah rumahnya digusur, Henny dan ketiga anaknya terpaksa mengontrak rumah petakan selama bertahun-tahun.
Ironisnya, meskipun tanahnya telah berubah menjadi jalan, hingga tahun 2024, ia masih menerima tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah tersebut.
“Saya juga masih bayar PBB. Terakhir 2024, saya dapat SPPT dan saya bayar aja,” ujarnya.
Nasib baik sedikit berpihak ketika saudara Henny memberinya tanah seluas 200 meter dengan harga murah. Perlahan, ia membangun rumahnya dari sebuah gubuk reyot berlantai tanah.
“Bertahap dulu, dari gubuk reyot lantainya masih tanah saya tempatin rumah. Sampai anak saya kerja dan punya uang buat bagusin rumahnya,” tuturnya.
Saat ini, Henny bekerja sebagai pengasuh anak di Narogong, Kota Bekasi, sementara anak-anaknya tinggal di rumah tersebut. Namun, ia tak pernah lagi menginjakan kaki di Batujaya, karena setiap kali melihat jalan bekas rumahnya, ia selalu menangis dan menahan sakit hati.
Henny bukan satu-satunya korban penggusuran yang masih menunggu keadilan. Ada Marwan (53) dengan tanah seluas 530 meter persegi, Imron dengan tanah 120 meter persegi, Mamad dengan tanah 500 meter persegi, serta satu warga lainnya yang mengalami hal serupa.
Perkara ini sempat masuk ke ranah hukum, namun hanya menyentuh aspek pidana pejabat yang terlibat, bukan penyelesaian hak-hak warga yang terdampak.
“Dulu saya jadi saksi di pengadilan, tapi katanya itu perkara pidana. Saya nggak ngerti hukum, nggak ada yang kasih tahu saya harus menuntut secara perdata,” ucap Henny.
Dua dekade berlalu, namun harapan itu masih menyala. Henny dan warga lainnya berharap ada kepedulian dari pemerintah daerah dan provinsi untuk menyelesaikan ganti rugi yang telah tertunda begitu lama.
Editor : Frizky Wibisono