JAKARTA, iNewsKarawang.id- Disebutkan sejarah masuknya Islam ke Tanah Betawi saat pasukan Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa pada 1527.
Namun ada pendapat lain menyebut bahwa Islam sudah datang sebelum peristiwa pengusiran kependudukan Portugis oleh Fatahillah, pejuang sekaligus ulama dari Kerajaan Samudera Pasai, Aceh yang hijrah ke Jawa.
Menurut kisah, pada 1412, ulama asal Campa (Kamboja) bernama Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro sudah mendakwahkan Islam ke tanah Betawai dengan mendirikan pesantren di Tanjung Puro, Karawang.
Budayawan juga sejarawan Betawi, Ridwan Saidi semasa hidupnya pernah menuturkan bahwa Syekh Quro awalnya datang ke Nusantara untuk berdakwah di bagian timur Pulau Jawa. Namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung meneruskan perjalanannya ke arah timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang dan membangun pesantren di Quro.
"Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Raden Kian Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya,” ujar Ridwan.
Menurut Ridwan, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgaran, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut musala dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.
Siswadi, dalam tulisan 'Perkembangan Kota Jakarta,' menulis : 'Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.'
Menurut kitab 'Sanghyang Saksakhanda', dituliskan, sejak pesisir utara Pulau Jawa - mulai dari Cirebon - Karawang dan Bekasi - terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.
Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri -salah satunya- Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite.
"Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana," ucapnya.
Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.
Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurut Ridwan, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar,” Apakah Prabu Siliwangi menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?”, ujarnya di kawasan Bintaro, Tangerang.
Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi.
Seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.
Editor : Boby