“Dulu masyarakat ada yang jadi pelaku kerusakan. Sekarang justru jadi pelestari. Ini bukan hanya proyek, tapi gerakan perbaikan masa depan,”ujarnya.
Inilah filosofi paling sederhana dari laut, dimana manusia bisa saja salah, tapi ia juga bisa belajar. Kerusakan bukan akhir, melainkan titik balik. Laut menerima tebusan itu dengan bahasa paling sunyi, ketika pertumbuhan karang laut kembali, ikan-ikan kecil, dan warna-warna baru juga akan kembali menyala didalam air keruh itu.
Waktu yang Tumbuh Bersama Karang
Muzwir Wiratama, General Manager PHE ONWJ, menegaskan,"Ini bukan program seremonial. Kami ingin masyarakat mandiri menjaga dan melanjutkan, agar laut ini tetap punya masa depan."tuturnya.
Masa depan itu tidak lahir dalam sekejap. Karang tumbuh milimeter demi milimeter, sama seperti perubahan yang tumbuh dari hati manusia. Butuh tahun-tahun panjang untuk melihat hasilnya. Namun justru di situlah keindahannya, ketika laut mengajarkan manusia filosofi waktu.
Jika pohon adalah lambang kesabaran darat, maka karang adalah lambang kesabaran laut. Ia tidak tergesa, tetapi ia teguh. Ia menolak menyerah pada kerusakan, asalkan ada tangan-tangan yang sabar menjaga.
Laut Sebagai Cermin Diri
Tangkolak kini bukan lagi kisah kerusakan, melainkan cermin. Ia memantulkan wajah manusia, seakan menjelaskan bahwa kita bisa merusak, tetapi juga bisa memperbaiki. Bahwa kita bisa serakah, tetapi juga bisa berbagi.
Anak-anak pesisir kini belajar bahwa karang bukan batu mati, melainkan makhluk hidup. Mereka tumbuh bersama kesadaran bahwa laut bukan warisan yang bisa dihabiskan, melainkan titipan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Dan di dasar laut yang keruh itu, ada pesan filosofis yang tak pernah terbayangkan, bahwa kehidupan bisa lahir kembali di tempat paling putus asa, asalkan ada kesungguhan, kolaborasi, dan cinta.
Editor : Frizky Wibisono
Artikel Terkait