JAKARTA,iNewsKarawang.Id-Salah satu cara alternatif untuk berhenti merokok yakni dengan pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan hal itu kepada wartawan, Selasa (11/2/2025).
Menurut laporan Lives Saved Report yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
"Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi kepada wartawan, Selasa (11/2/2025).
THR sendiri merupakan salah satu metode alternatif untuk menurunkan risiko produk tembakau. Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan sebagai keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.
Data Kemenkes menunjukkan faktor risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Situasi ini memunculkan pentingnya keterbukaan terhadap strategi lain yang bisa diterapkan untuk menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok.
Nadia mengatakan, peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok. Hingga saat ini, Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.
"Secara strategi [untuk mendorong masyarakat berhenti merokok] kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar [regulasi yang terbit] bisa evidence-based," ucapnya.
Sementara itu, Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis Laporan Lives Saved Report, dr. Ronny Lesmana menjelaskan, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok. Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.
"Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami," ujar Ronny.
Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Prof Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif.
Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
"Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif," kata Tikki.
Dukungan untuk menerapkan THR sebagai salah satu cara untuk berhenti merokok turut disuarakan oleh Praktisi Kesehatan dr. Arifandi Sanjaya. Berdasarkan apa yang ditemukan ketika berhadapan langsung dengan pasien, perkembangan produk alternatif sebagai salah satu strategi THR menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup pasien.
"Saya sempat menerapkan [THR] pada 2014, fokus untuk mengurangi risiko tembakau. Memang ada cara-cara yang berbeda, tetapi alangkah lebih baik kalau ada yang meregulasi THR dan mengaitkannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Membuat orang berhenti merokok itu susahnya luar biasa. Maka perlu membatasi dosisnya, perlu diturunkan frekuensi zat berbahaya dan ditingkatkan kualitas hidupnya, akhirnya dicari produk alternatif," kata Arifandi.
Editor : Boby
Artikel Terkait