BMKG Sebut Sejumlah Wilayah Terpanas di Indonesia Memasuki Musim Kemarau

JAKARTA, iNewsKarawang.id-Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) Guswanto mengatakan, saat ini wilayah Indonesia sudah berada pada musim peralihan hujan ke kemarau atau pancaroba.
Menurut Guswanto, cuaca cenderung cerah di pagi hingga siang hari, sehingga radiasi matahari yang masuk lebih maksimal dan menyebabkan suhu permukaan naik tajam.
Dijelaskannya lebih lanjut, karena Indonesia secara geografis berada di sekitar garis ekuator. "Saat ini sedang menerima penyinaran matahari yang sangat intens, karena posisi semu matahari sedang melintasi wilayah ekuatorial dan secara bertahap bergerak ke utara," kata Guswanto, Sabtu (3/5/2025).
"Pada awal Mei 2025, deklinasi matahari tercatat di sekitar 11,2° Lintang Utara, yang artinya sebagian wilayah Indonesia masih berada dalam jalur lintasan penyinaran matahari yang cukup optimum. Kondisi ini memperkuat pemanasan permukaan, terutama saat langit cerah, kelembapan udara rendah, dan pergerakan angin lemah," jelas Guswanto.
Guswanto pun mengatakan, sejak April hingga Mei, kemudian September sampai Oktober, akan menjadi periode suhu tinggi. Sementara, beberapa wilayah di Indonesia mencatat suhu maksimum yang cukup tinggi dalam beberapa waktu terakhir seperti di Tanah Merah Papua Selatan, juga Juanda di Jawa Timur.
"Di Tanah Merah, Papua Selatan, suhu udara mencapai 38,4°C pada 29 Maret 2025 dan kembali mencatat 37,0°C pada 21 April 2025. Sementara itu, Stasiun Meteorologi Juanda di Jawa Timur mencatat suhu maksimum 37,9°C pada 23 April 2025. Selain itu, suhu di atas 35°C juga tercatat di wilayah lain seperti Lampung dan Jawa Timur pada akhir April," ungkapnya.
Guswanto pun meminta masyarakat yang berada di wilayah selatan ekuator, khususnya Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah Sumatera, perlu meningkatkan kewaspadaan. Pasalnya, wilayah-wilayah ini memiliki karakteristik permukaan lebih cepat menyerap panas dan relatif lebih kering.
"Sehingga lebih rentan mengalami akumulasi panas ekstrem pada siang hari," katanya.
Guswanto juga meminta masyarakat mewaspadai dampak cuaca panas ekstrem seperti dehidrasi dan heat stroke yang menjadi risiko utama, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, serta pekerja yang beraktivitas di luar ruangan dalam waktu lama.
"Selain itu, suhu tinggi yang berlangsung terus-menerus dapat memicu kekeringan lokal dan menyebabkan berkurangnya ketersediaan air bersih di sejumlah wilayah, yang berdampak pada aktivitas harian dan kesehatan masyarakat," jelas Guswanto.
"Dalam jangka yang lebih luas, kondisi cuaca yang panas dan kering juga meningkatkan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya di daerah-daerah yang rawan dan minim curah hujan dalam beberapa waktu ke depan," pungkasnya.
Editor : Boby