JAKARTA, iNewskarawang.id - Kebanyakan wanita selalu bertanya-tanya kenapa wanita haid tidak dapat melakukan ibadah puasa dan shalat. Bahkan bukan hanya wanita, umat seluruh umat islam baik laki-laki dan wanita selalu terbesit pertanyaan tersebut.
Pasalnya, wanita yang sedang dalam kondisi menstruasi memang diharamkan untuk melakukan sejumlah ibadah wajib.
Untuk ibadah shalat yang ditinggalkan, wanita tersebut tidak wajib menggantinya di lain waktu. Sedangkan jika meninggalkan puasa Ramadan, perempuan itu tetap diwajibkan menggantinya di lain waktu saat sudah bersuci dari haid.
Adapun alasan di balik ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
Alasan wanita haid tidak boleh shalat
Perlu diketahui bahwa syarat wajib shalat adalah suci dari hadas besar dan hadas kecil. Sementara itu, ulama memandang wanita yang sedang haid adalah seseorang yang sedang dalam keadaan berhadas.
Karena hal tersebut, wanita haid juga diwajibkan untuk mandi besar jika telah selesai periode menstruasinya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa wanita haid tidak diperbolehkan mengerjakan shalat karena berkaitan dengan kesucian.
Setelah suci dari haid dan melakukan mandi besar, wanita tersebut tidak dibebankan kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan. Namun nyatanya, hal itu pernah menjadi pertanyaan dalam sebuah hadits dalam kitab Shahih Muslim.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: " سَأَلْتُ عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ، تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ، قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abd ibn Humaid, telah mengabarkan kepada kami, ‘Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari ‘Ashim dari Mu'adzah dia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?” Maka Aisyah menjawab: “Apakah kamu dari golongan Haruriyah ? “ Aku menjawab: “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab,: “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.
Terkait alasan di baliknya, para ulama menyimpulkan bahwa tidak diwajibkannya seorang wanita mengganti shalat yang ditinggalkannya saat haid adalah ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita. Pasalnya jika diwajibkan mengganti, maka hal itu akan sangat memberatkan para wanita.
Sebagaimana yang telah diketahui, menstruasi umumnya terjadi setiap bulan selama beberapa hari. Apabila Allah mewajibkan penggantian ibadah shalat yang ditinggalkan, maka akan sangat banyak qadha shalat yang dikerjakan wanita tersebut.
Alasan wanita haid tidak boleh puasa
Sama seperti shalat, wanita haid juga tidak diperkenankan mengerjakan puasa dalam syariat Islam. Terkait alasannya, memang tidak ada hadits yang secara eksplisit menjelaskan hal tersebut.
Namun jika merujuk pada alasan medis, wanita yang sedang menstruasi tengah kehilangan sejumlah darah dan cairan dalam tubuh yang dapat melemahkan kondisi fisiknya. Dalam arti lain, fisik perempuan yang tengah haid dianggap cukup lemah atau tidak terlalu kuat untuk menjalankan puasa.
Kendati demikian, wanita tersebut diwajibkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya di lain waktu saat sudah suci dari menstruasi. Adapun alasan di baliknya adalah karena puasa adalah kewajiban tahunan.
Berbeda dengan shalat, puasa tidak dilakukan setiap hari. Maka jika diganti di lain waktu, hal itu diyakini tidak memberatkan wanita.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Majmu' syarah kitab Al-Muhadzzab mengatakan:
وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةِ أَيْضًا عَلَى وُجُوْبِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ عَلَيْهَا ، نَقَلَ الْإِجْمَاعَ فِيْهِ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ جَرِيْرٍ وَأَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ
Artinya: Ulama juga telah sepakat atas wajibnya mengqadha puasa Ramadhan atas wanita haid dan wanita nifas. Imam Tirmidzi, Ibnul Mundzir, Ibn Jarir, para kolega kami dan yang lainnya menukil kesepakatan tersebut.
Editor : Frizky Wibisono