JAKARTA, iNewsKarawang.id - Fauzi (43 tahun) telah siap sedia di seberang pintu masuk wisata Kampung Cokelat Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur sebelum pukul 07.00 pagi.
Ia berdiri setengah bersandar pada meja kayu yang digunakan untuk menjual sayuran, sambil terus melambaikan tangannya kepada setiap kendaraan yang melewati tempat tersebut. Laki-laki berkulit sawo matang tersebut tampak tidak berhenti melakukan gerakan tersebut.
"Parkir. Parkir," teriak Fauzi yang hanya berkaos oblong tanpa lengan dipadu celana pendek di bawah lutut.
Terlihat sedikit raut kecewa, ketika kendaraan hanya melintas dan menjauh. Wajahnya berubah semringah ketika sebuah mobil Kijang Inova meluncur dari arah utara melambatkan kecepatan. Mendekat. Fauzi reflek beranjak. Ia sudah hafal.
Kendaraan yang mengurangi laju kecepatan, bisa dipastikan hendak mencari tempat parkir. "Masih longgar, masih longgar," teriak Fauzi dengan wajah bersimbah peluh.
Hanya sekejap, Fauzi dan sopir mobil yang kacanya terbuka separuh itu, saling beradu pandang. Seperti perkiraannya. Toyota Kijang sarat penumpang itu langsung membelok masuk ke pelataran rumahnya.
Di sebuah lahan parkir yang cukup luas terdapat jaring paranet yang terpasang di atasnya untuk memberikan perlindungan dari sinar matahari. Saat itu, telah terlihat tiga kendaraan roda empat lainnya yang sudah terparkir di sana.
Fauzi mengarahkan sopir Inova untuk merapikan posisi kendaraan."Bayarnya langsung pak. sepuluh ribu," kata Fauzi kepada sang sopir sebelum bergegas meninggalkan lokasi parkir menuju wisata Kampung Cokelat.
Begitulah situasi parkiran tempat wisata Kampung Cokelat di masa pandemi Covid-19. Baru di bulan Oktober, kata Fauzi, situasi mulai berangsur normal.
Warga yang memiliki area parkir di masing masing tempat tinggalnya, mulai kembali mendapat pemasukan. "Memang belum bisa dikatakan normal. Tapi sudah lumayan," tutur Fauzi.
Kampung Cokelat sebagai objek wisata telah didirikan pada tahun 2014. Sejak awal didirikannya, pemilik wisata telah sepakat untuk menyerahkan semua urusan parkir pengunjung ke warga sekitar. Warga yang memiliki lahan yang cukup luas, diberikan kebebasan untuk membuka area parkir tanpa harus memberikan persentase apapun kepada pengelola wisata.
"Sejak itu, warga yang bertempat tinggal di area wisata ramai ramai membuka parkiran," papar Fauzi.
Dengan adanya pandemi Covid-19, paceklik ekonomi telah melanda. Kesulitan tersebut mulai dirasakan sejak pemerintah menyatakan Covid-19 masuk Indonesia. Seingat Fauzi mulai bulan Maret.
Tingkat kunjungan Kampung Cokelat terus menurun. Puncaknya ketika pemerintah menyatakan menutup semua tempat wisata. Seluruh warga Plosorejo yang hidup dari parkir, kelimpungan.
"Kami yang biasanya setiap hari mendapat pemasukan Rp600 ribu-Rp1,5 juta, gara-gara wisata ditutup, tidak ada penghasilan sama sekali," kenang Fauzi yang memiliki dua anak dengan si sulung duduk di bangku setingkat SMA.
Warga yang sebelumnya bermata pencaharian petani inginnya kembali ke sawah. Namun karena terlanjur mengandalkan parkiran serta jualan makanan dan minuman, kata Fauzi sebagian besar sawah telah disewakan.
Bahkan, tidak sedikit sawah yang diubah menjadi lahan parkir. "Saya juga termasuk di dalamnya. Luas area parkir yang saya punyai cukup untuk 25 (kendaraan) roda empat termasuk bus," tambah Fauzi.
Untuk bertahan hidup tidak sedikit warga yang terpaksa berutang. Dengan harapan pemerintah bisa membuka kembali wisata. Menurut Fauzi, ada yang bertahan dengan uang tabungan.
"Namun itu (uang tabungan) tidak cukup. Selama tiga bulan penuh, kami tidak ada pemasukan sama sekali," kata Fauzi.
Pada bulan Juli, wisata Kampung Cokelat kembali dibuka dengan memberlakukan protokol kesehatan…
Editor : Boby