JAKARTA, iNews.id - Deddy Corbuzier ikut menanggapi kasus Herry Wirawan yang tengah viral. Selain masyarakat yang ikut bersuara, psikolog juga memberikan komentar atas tindakan yang mengarah ke tindakan psikopat tersebut.
Seorang pemilik pesantren di Bandung Jawa Barat, Herry Wirawan terancam 20 tahun penjara dengan segudang tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Dia dituntut untuk dikebiri karena memperkosa anak-anak di bawah umur.
Pihak orangtua dari korban pun ada yang meminta agar Herry Wirawan dikebiri. Senada hal yang disuarakan masyarakat juga dilontarkan di media sosial. Namun, apakah 20 tahun penjara dan dikebiri saja cukup untuk tindakan keji yang sudah dilakukan Herry Wirawan?
Menurut Deddy Corbuzier dan Psikolog Klinis Meity Arianty tidak, karena mereka meminta hukuman mati.
Bukan tanpa alasan hukuman mati dianggap layak untuk Herry Wirawan. Deddy Corbuzier mengatakan apa yang dilakukan Herry benar-benar di luar otak manusia. Dia sudah sakit dan mungkin saja jika dibiarkan hidup lalu bebas dari penjara, perilaku jahatnya bisa muncul lagi.
Deddy Corbuzier (Foto: Prestige)
"Kalau orang sudah sakit, ini kan dia sakit jiwa, sudah psikopat, nah kalau orang ini dikebiri, bukan mengartikan bahwa perilaku dia yang lain tidak semakin buas. Bisa saja setelah itu dia makin buas," kata Deddy di channel Youtube-nya, dikutip iNews.id Sabtu (11/12/2021).
"Herry dimasukan ke penjara, gue enggak tahu diapakan sama orang-orang di penjara atau dia memperkosa orang di penjara. Kan gua enggak tahu penyakit dia sebenarnya apa." Kata Deddy lagi.
Dia pun menegaskan bahwa jika publik bertanya soal hukuman setimpal untuk Herry Wirawan pemerkosa 14 santriwati, jawabannya hukuman mati.
"Kalau nanyanya gue, orang-orang seperti ini hukumannya mati! Kalau kita ngomongin HAM, HAM itu hak asasi manusia, untuk manusia, (sedangkan) ini kodok kurap bukan manusia. Jadi, enggak ada tuh kita bicara HAM untuk peristiwa seperti ini, beneran enggak ada," kata Deddy di video yang sudah ditonton lebih dari 3,3 juta dalam waktu sehari.
"This is my opinion, gue enggak menyarankan orang-orang untuk ngikutin opini gue," kata Deddy.
“Orang seperti ini tidak layak hidup di Indonesia, tidak layak hidup di dunia. Enggak layak hidup basic-nya," ujar Deddy Corbuzier lagi.
Psikolog Klinis Meity Arianty mengutarakan hal senada dengan Deddy Corbuzier. Dasar penilaian Mei, sapaan akrabnya, cukup jelas perilaku Herry Wirawan itu abnormal dan mengarah pada tindakan psikopat.
"Orang seperti ini berbahaya sekali ada di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukuman penjara saja tidak akan cukup, bahkan mungkin hukuman seberat apapun tidak berpengaruh pada korban-korbannya dan keluarga korban yang menanggung derita seumur hidup," katanya pada iNews.id melalui pesan singkat, Sabtu (11/12/2021).
Menurut Mei, para korban dan keluarganya bukan hanya menanggung malu dan beban mental, karena korbannya itu sendiri sudah mati secara karakter. Pelaku sudah merusak masa depan, membunuh harapan-harapan, dan membunuh mimpi-mimpi para santriwati tersebut.
Parahnya, anak yang dikandung korban juga akan trauma dan menanggung beban psikologis kelak saat dilahirkan.
"Sehingga kata apa yg paling tepat disematkan pada perilaku orang tersebut itu jika bukan sadis," ujar Mei lagi.
Mei melanjutkan, jangan sampai nanti ada yang berpikir ini pembunuhan karakter guru agama.
"Jika pegiat-pegiat HAM ikut bersuara dengan dalih membela HAM karena pelaku harus diberikan kesempatan dan memiliki hak yang sama, maka tolong pakai hati kita untuk melihat dengan jernih betapa naasnya masa depan santriwati-santriwati tersebut, yang bisa jadi saat ini mereka hidup tapi terasa mati. Sudah waktunya pemerintah menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seperti ini," kata Mei.
Dia pun mengatakan bahwa hanya hukuman mati yang paling tepat buat pelaku, sebab jika melihat karakteristik pelaku, ingat yang disampaikan oleh Harpur & Hare pada tahun 1994 bahwa sifat egosentris, manipulatif, tidak memiliki empati, tidak memiliki rasa bersalah dan tidak menyesal, serta tidak punya perasaan pada orang lain.
Menurutnya sifat-sifat ini relatif stabil bahkan dengan bertambahnya usia, sehingga jika pelaku ini dipenjara hanya 20 tahun dan dia bebas sekitar usia 50-an, maka kemungkinan dia melakukan kembali perbuatannya masih sangat besar.
"Mungkin ada yang berpikir seseorang bisa saja bertaubat dan setiap orang bisa berubah, namun jika kemungkinan itu kecil, maka enggak perlu 'gamble' untuk itu. Aku tahu bahwa hukuman mati tidak akan dapat menghapus derita santriwati-santriwati itu, tapi minimal ini bisa menjadi pelajaran bagi orang lain di luar sana sehingga tidak ada lagi kasus seperti ini," katanya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta