KARAWANG, iNewsKarawang.id - Anggota DPRD Karawang Taufik Ismail meminta pemerintah daerah memberikan solusi terkait polemik relokasi pasar Rengasdengklok ke pasar Proklamasi. Seperti diketahui, para pedagang pasar Rengasdengklok membuat aksi penolakan relokasi melalui spanduk yang dibentang di pasar.
Ada tiga hal yang jadi tuntutan para pedagang. Pertama, tuntutan kepada bupati untuk memberikan kompensasi pengganti bangunan. Kedua, tuntutan ke pengembang pasar Proklamasi, soal harga kios yang terlalu mahal. Dan ketiga, tuntutan untuk perbankan agar memberikan kredit lunak kepada pedagang tanpa melihat BI checking.
"Pemkab juga harus melihat secara utuh. Saya minta Pemkab mengevaluasi ulang masalah harga (kios). Diberikan termin (pembayaran), diskon, atau apalah. Jangan sampai ada konflik horizontal, ada konflik sosial. Harusnya dilakukan pendekatan humanis, (pedangang) diajak ngobrol, (pemkab) turun tangan, diajak sharing. Dengarkan apa mau pedagang," kata politisi PDIP yang akrab disapa Pipik kepada wartawan, Kamis (3/11).
Pipik mengatakan, harga ruko di pasar Proklamasi tidak realistis. Sebagai perbandingan, kata Pipik, harga tanah di Rengasdengklok paling mahal berada di kisaran Rp 2 jutaan per meter. Bila ditambah bangunan di atasnya, kisarannya di bawah Rp 10 juta. Namun harga yang dipatok PT VIM (Visi Indonesia Mandiri) selaku pengembang pasar Proklamasi melebihi itu.
"Kalau tidak salah, kios di pasar Proklamasi itu (luas) 3x3 meter kisarannya antara 18 sampai 25 juta per meter. Pedagang keberatan dengan harga yang sangat mahal itu. Hal-hal seperti itu (kisaran harga tanah dan properti di Rengasdengklok dengan harga yang ditetapkan pengembang) harus dilihat. Karena di situ ada ribuan pedagang," sambungnya.
Meski pedagang diberikan keringanan berupa cicilan kios, namun keresahan pedagang bukan soal cicilan. Tapi lebih kepada harga kios yang terlalu mahal. Pipik meminta pengembang dan pemkab tidak mengesampingkan harga rata-rata tanah dan properti di Rengasdengklok.
Pipik juga mengkritisi ketidakkonsistenan soal kebijakan ruang terbuka hijau (RTH) yang jadi salah satu alasan relokasi pedagang.
"RTH ini bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Kalau sekelas PT KAI bicara RTH, cobalah kroscek lahan di Karawang banyak milik KAI, itu tadinya RTH tapi sekarang (jadi) bangunan ruko di mana-mana. Bahkan di depan kantor PUPR, kalau tidak salah, saya lihat ada bangunan baru. Oke Rengasdengklok mau dibikinkan RTH, tapi di satu sisi RTH (yang sudah ada) dijadikan bangunan-bangunan. Itu sudah tidak komitmen terhadap pembangunan Karawang," katanya.
Pemkab juga harus memperhatikan lahan pasar Rengasdengklok yang sebagiannya dimiliki PT KAI. Ketika dilakukan relokasi pasar, pemkab harus berkomunikasi dengan PT KAI sebagai pemilik lahan.
Pipik menambahkan, PT KAI sebagai pemilik tanah punya hak untuk merelokasi sebagian pedagang pasar Rengasdengklok. Namun di sisi lain, PT KAI harus menegaskan komitmennya kepada para pedagang yang dipindahkan.
"Saya dukung Rengasdengklok rapi, bersih. Karena kan (itu) daerah saya. Saya lihat puluhan tahun Rengasdengklok terbengkalai dan kumuh, tapi kok baru sekarang (ada wacana RTH)? Harusnya dari dulu diobrolin," tutupnya.
Editor : Boby