JAKARTA, iNewsKarawang.id - Kementerian Agama selama ini telah melakukan ikhtiar dini sebagai bagian dari tindakan pencegahan dan upaya preventif terhadap tindak di lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren.
Demikian dikatakan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur.
Waryono menyebut, salah satunya dengan Menyusun Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Anak di Pesantren. Proses penyusunannya sudah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Dijelaskannya, RPMA ini terdiri dari 8 bab dengan kurang lebih 50 pasal. Definisi kekerasan seksual dalam regulasi ini berbeda dari definisi dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Pasalnya, aturan Permendikbud memiliki klausul “tanpa persetujuan korban” untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Dalam RPMA ini, definisi dibuat dengan pendekatan agama.
Nantinya, RPMA ini juga memuat bab pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini akan mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Dalam bab penanganan, regulasi ini akan mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis.
Bab ini juga mengatur sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Waryono menerangkan, korban semestinya diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.
Terkait pelaku kekerasan seksual dalam lembaga pendidikan agama, Waryono menjelaskan bahwa regulasi yang sedang disusun ini mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku akan diserahkan ke penegak hukum.
"Regulasi ini juga akan mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban. Kalau administratif bisa berupa pemecatan," kata Waryono dikutip dalam laman resmi Kemenag, Senin (19/09/2022).
Lebih lanjut, Kemenag kata Waryono turut memberikan perhatian bagi penanganan kasus kekerasan yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Bahkan, pihaknya selalu memberikan respon pada kesempatan pertama mendapat informasi terkait itu. Upaya yang dilakukan antara lain melakukan identifikasi dan investigasi.
"Jika sudah ranah hukum, kita serahkan ke penegak hukum. Terkait pembinaannya, kami bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya berkoordinasi dan bersinergi untuk melakukan langkah penyelesaian bersama,” kata dia.
“Lembaga terkait itu misalnya KPPA dan pihak kepolisian, kami berkoordinasi agar pokok persoalannya menjadi clear,” ujarnya.
Kemudian untuk proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, menurutnya perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan.
Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?
“Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, kita bisa libatkan Dinas Sosial,” ujar dia.
"Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga harus komprehensif,” tuturnya.
Editor : Boby