JAKARTA, iNewsKarawang.id - Bagi Ainun, hidup pas-pasan di Jerman bukanlah menjadi suatu masalah serius. Dia memilih untuk meninggalkan kota Aachen karena biaya hidup terlalu tinggi di sana, sehingga Habibie dan Ainun harus tinggal di pinggir kota.
Meskipun kondisi demikian bagi mereka tak menjadi persoalan, lantaran mereka dapat menyewa apartemen yang ukurannya dua kali lebih besar daripada apartemen sebelumnya.
Pada buku SABJH, halaman 383, Ainun menuturkan sejak kecil Ainun sudah diajari mengurus rumah tangga, seperti memasak, mencuci, membersihkan dan sebagainya. Kini, baginya hidup mulai terasa agak berat karena rasa kesendirian.
Jauh dari keluarga, teman, dan segala hal membuat hidup Ainun terasa sepi. Tak ada teman ngobrol. Dia hanya memiliki suami, meskipun suaminya pulang larut malam karena harus tuntutan bekerja untuk menyelesaikan promosinya.
“Penghasilan kami pas-pasan. Habibie, seorang Diplom Ingineur hanya digaji setengah karena bekerja setengah hari sebagai Asisten pada Institut Konstruksi Ringan Universitas. 600DM lagi dari DAAD, Dinas Beasiswa Jerman,” kata Ainun dalam Buku Habibie & Ainun.
Demi menambah penghasilan, suami Ainun mencuri-curi waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api. Dia yang mendesain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Semakin lama, keperluan mereka semakin banyak. Demi menghemat pengeluaran, sebisa mungkin semuanya dikerjakan sendiri.
Mulailah Ainun belajar menjahit sendiri. Lantaran sudah terbiasa, jahitannya tidak terlalu jelek. Dia mulai memperbaiki bagian yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin.
Ainun mengakui bahwa barang yang pertama kali dia beli adalah mesin jahit. Bukan mesin cuci, bukan oven atau apapun yang serba otomatis. Saat itu, mesin jahit adalah salah satu barang prioritas yang harus dibeli.
Editor : Boby