JAKARTA, iNewsKarawang.id - Dipecat dari jabatannya, delapan hakim Mahkamah Agung (MA) dipecat secara tidak hormat selama periode 2017 hingga pertengahan 2022.
Penyebab mereka dipecat karena berbagai masalah kode etik. Mulai dari perselingkuhan hingga transaksi perkara.
Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial RI, Binziad Kadafi mengatakan, ini adalah bukti ketegasan MA dalam menindak hakim yang nakal.
"Kalau secara keseluruhan, sejak KY berdiri itu jumlahnya lebih banyak lagi," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia.
Dia mengungkapkan dari kurun waktu tersebut sebenarnya terdapat 15 hakim yang diajukan ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Dengan hasil rinciannya 8 hakim diberhentikan dari jabatannya, 1 hakim mengundurkan diri, dan 6 hakim dijatuhi sanksi berat lainnya.
"Rata-rata secara umum pelanggaran yang mereka lakukan itu ya kalau sampai ke MKH itu pelanggaran berat. Terutama terkait dengan transaksi perkara, sama perselingkuhan. Perilaku (perselingkuhan) yang tidak patut dalam kehidupan rumah tangga, perselingkuhan," tuturnya.
Binziad menyebutkan, untuk hakim yang diberhentikan secara tak hormat ada yang diberikan tunjangan. Namun, ada juga yang diberikan. Tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan.
"Ada yang diberhentikan tanpa hak pensiun tapi ada juga dengan hak pensiun. Itu dari kadar kesalahannya yang dibuktikan dengan MKH itu," ujarnya.
Hakim yang mendapat sanksi nonpalu juga tidak mendapat tunjangan sebagai hakim. Padahal, ucap Binziad, tunjangan hakim adalah porsi mayoritas dari penghasilan yang diterimanya.
"Nonpalu itu berarti mereka statusnya sebagai hakim, tetapi mereka tidak memeriksa dan memutuskan perkara. Dengan begitu mereka hanya terima gaji saja, saksi berat itu kemudian ada konsekuensi terhadap pengembangan kariernya, akan sulit dan menjadi terbatas untuk menjadi pimpinan pengadilan, hakim agung" tuturnya.
Binzaid mengatakan, KY sebagai Lembaga yang memantau MA tentunya mengapresiasi ketegasan tersebut. Terutama dalam upaya menjaga kepercayaan publik.
Editor : Faizol Yuhri