KARAWANG, iNewskarawang.id - Tingginya kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang diusulkan pemkab sebesar 12 persen jadi sorotan pengamat kebijakan publik Karawang, Asep Agustian.
Pasalnya usulan kenaikan UMK 12 persen tersebut dinilai terlalu tinggi dari usulan Apindo Karawang hanya sebesar 1,89 persen dan Kadin Karawang sebesar 3 persen.
Asep Agustian mengapresiasi upaya para buruh untuk mendorong kenaikan UMK sesuai keinginan mereka. Namun, perlu diingat juga bahwa kenaikan UMK yang tinggi bisa memicu sejumlah pabrik dan perusahaan di Kabupaten Karawang terancam bangkrut atau pindah lokasi ke luar Karawang.
"Resikonya para investor akan kabur dari Karawang, "tandas Askun, sapaan akrab Asep Agustian pada Sabtu (25/11/2023).
Askun mengatakan, jika pabrik tutup atau pindah lokasi tentunya berdampak pada tingginya angka pengangguran di Karawang.
Menurut Askun, usulan kenaikan UMK oleh Apindo sebesar 1,89 persen dinilai sudah cukup, karena kenaikan 1,89 persen hanya upah (gaji pokok), belum variabel lainnya seperti uang lembur, BPJS, uang makan transport pastinya mengikuti kenaikan UMK.
"Saya hanya bisa usap dada dan istighfar ketika tahu usulan kenaikan UMK sebesar 12 persen, apakah semua pengusaha sanggup? Kalau tidak sanggup, siapa yang jadi korban? Ya buruh sendiri yang akan jadi korban," kata Askun yang juga mantan GM PT Beesco ini.
Ia mencontohkan, ketika dia menjadi GM Di perusahaan swasta, kemudian perusahaanya tutup karena tingginya UMK di Karawang. Dahulu (tahun 2022) di angka sekitar Rp5,2 juta, sekarang capai hampir Rp5,8 juta karena ketidakmampuan perusahaan untuk membayar gaji sesuai UMK. "Ya akhirnya pabrik saya tutup," ucap Askun.
Lanjut Askun, dia tidak menolak dengan adanya kenaikan UMK Karawang, asalkan kenaikannya jangan terlalu tinggi biar daerah sekitar Karawang (Subang, Sumedang, dst) UMK-nya tidak jomplang, sehingga lambat laun ada pemerataan UMK se-Jawa Barat.
Kata dia, jangan sampai orang berbondong-bondong datang ke Karawang demi UMK tinggi, sementara warga Karawang sendiri hanya jadi penonton dan pengangguran. "Efek dominonya tingkat kriminalitas naik," ucapnya yang juga Ketua DPC Peradi Karawang ini.
Ia pernah menyampaikan ke serikat pekerja bahwa kenaikan UMK sebenarnya hanya menaikan gaya hidup, tanpa memikirkan bagaimana pabrik bisa tutup karena UMK tinggi dan berimbas mereka jadi pengangguran.
"Kemudian jika telah terjadi pengangguran apakah Pemkab Karawang bisa membantu untuk memperkerjakan kembali masyarakatnya sendiri, saya tidak berharap ketika pemimpin mau dipilih baru butuhkan masyarakat, tapi ketika sudah jadi masyarakat malah diabaikan," tegasnya.
Askun menganalisa, kebijakan naiknya UMK Karawang yang sangat tinggi disinyalir ada muatan politis karena tahun 2024 merupakan tahun politik sehingga pemimpin Karawang saat ini menjadikan kenaikan UMK ini sebagai alat bargaining agar buruh memilihnya di Pilkada mendatang, tetapi setelah terpilih dan UMK disetujui kenaikannya, gelombang tinggi pengangguran siap muncul.
"Kalau pabrik tutup mau cerita apa? Yang jadi korban ya para buruh lagi akan jadi pengangguran," ungkapnya.
"Padahal, para buruh juga ada yang berharap UMK tidak naik tinggi yang penting mereka masih bisa bekerja dan menghidupi keluarganya, kenaikan UMK ini ada faktor kepentingan (politis)," sambungnya.
Askun menyebutkan, bola kenaikan UMK sekarang ini ada di tangan Pemprov Jabar. Kalau Pemprov Jabar berani tandatangani usulan kenaikan UMK 12 persen, sama halnya pemrov 'membunuh' pabrik dan buruh juga.
"Kalau berani (tandatangani) berarti hebat, berarti pemprov 'membunuh' semua perusahaan, pabrik bakal banyak tutup dan hengkang dari Karawang," pungkasnya. (Tim Redaksi)
Editor : Boby
Artikel Terkait