JAKARTA, iNewsKarawang.id - Sembilan perawan cantik, dengan penuh gemulai bergerak mengikuti alunan mistis irama gamelan. Deburan ombak Laut Selatan, menyambut liukan para penari yang tengah memainkan Bedhaya Ketawang, untuk melepas persembahan ke samudera luas
Gemulai sembilan perawan cantik yang memainkan tarian sakral Bedhaya Ketawang, dengan iringan ritmis ini, selalu hadir dalam setiap upacara labuhan (lepas sesaji ke laut) di pantai selatan.
Dalam tradisi kekuasaan Kasunanan Surakarta, maupun Kasultanan Yogyakarta, tari Bedhaya Ketawang memiliki posisi penting. Bedhaya Ketawang yang dimainkan oleh sembilan perempuan cantik, merupakan media menghadirkan Ratu Kidul, penguasa laut selatan.
Roh halus sang Ratu Selatan, dipercaya akan hadir dengan cara merasuki tubuh salah satu penari. Selanjutnya si penari berparas rupawan akan dibawa ke ruang khusus untuk kemudian disetubuhi Raja Jawa. "Guna mengundang roh halus Ratu Kidul, agar bersetubuh dengan sang raja," demikian dikutip dari buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016). Di Kasultanan Yogyakarta, tari Bedhaya Ketawang disebut sebagai tari Bedhaya Semang. Sementara penyebutan tari Bedhaya Ketawang lebih dilakukan di lingkungan Kasunanan Surakarta. Hadirnya roh halus sang Ratu Selatan, yang merasuk pada tubuh penari dan kemudian berlanjut bersetubuh dengan Raja Jawa, ditafsirkan sebagai penyatuan kekuasaan sekaligus perlindungan.
Pertalian gaib antara keraton Jawa, dengan istana di bawah laut selatan diyakini akan membuat kekuasaan Raja Jawa tidak mudah goyah. Sebab sang Ratu Kidul telah turun tangan memberikan suaka atau baureksa.
Karenanya syarat-syarat upacara labuhan di pantai selatan yang beriringan dengan tari Bedhaya Ketawang, tak pernah meninggalkan pakem yang berlaku. Sesaji menyertakan kepala kerbau yang kemudian dilabuh ke laut kidul dengan sebuah rakit. Pada saat hampir bebarengan, sesaji berupa gunting kuku dan rambut ditanam di garis batas air dengan hamparan pasir hitam Parangtritis. Di waktu yang sama utusan lain keraton kasultanan Yogyakarta membawa sesaji ke Gunung Merapi yang berada di arah utara.
Sedangkan utusan kasunanan Surakarta membawa sesaji ke Gunung Lawu yang berada di arah timur. Pada Gunung Merapi dipercaya bertahta kekuasaan Kiai Sapu Jagad. Sedangkan Gunung Lawu tempat Kiai Tunggul Wulung. Ini dimaksudkan agar keseimbangan kosmik antara bumi dan air bisa dipertahankan. Tari Bedhaya Ketawang sendiri merupakan tradisi yang menapaktilasi kisah pertemuan pendiri Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul, sang penguasa laut selatan. Semua yang menjadi kesenangan sang Ratu dipenuhi. Mulai sesaji berupa kain batik parang rusak awisan dalem, dan kemben hijau kain cangkring sumekan gadung yang berpola hijau putih, yakni motif gadung mlati, hingga makanan kesukaanya. Begitu pula dengan sembilan orang penari Bedhaya Ketawang. Mereka juga memakai busana batik dengan pola gadung mlati. Para penari rata-rata berparas rupawan. Mereka berasal dari lingkungan keluarga bangsawan, bagian dari kerajaan
Selain berjiwa tenang, para penari Bedhaya Ketawang juga harus dalam keadaan bersih jasmani, yakni tidak dalam keadaan menstruasi. Dikisahkan, Raja Jawa bisa langsung melihat siapa penari yang diambilnya nanti. Raja melihat penanda cahaya redup kehijauan yang memancar dari bagian paling tersembunyi (bagian intim) dari sang penari. Di saat itu, si penari Bedhaya Ketawang akan mengalami situasi kerasukan, di mana diyakini roh halus sang Ratu Selatan sedang merasukinya. "Sang penari yang kerasukan, dibawa ke Proboyekso (kediaman pribadi raja), di mana puteri belia itu disetubuhi oleh Susuhunan (Raja Jawa) dalam ritual yang mengingatkan rayuan asmara antara Senopati dan Ratu Kidul," demikian tertulis dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016).
Editor : Boby