Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa salah satu tujuan penyelesaian sengketa proses pemilu untuk memberikan legitimasi proses dan hasil pemilu. Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil menjadi pembentukan pemerintahan yang demokratis. “Di beberapa negara, kegagalan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi momentum titik balik yang justru melahirkan diktator atau perang sipil,” ujar Menko Polhukam dikutip dari keterangan tertulis.
Demikian pesan penting dari Menko Polhukam yang dibacakan oleh Deputi VI Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Janedjri M. Gaffar, dalam acara Seminar dan Lokakarya Nasional Penguatan Literasi Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta (16/12/2021). Acara ini dihadiri secara daring oleh 518 Bawaslu kabupaten/kota dan 170 pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan dan pengawasan pemilu/pilkada, perwakilan partai politik, ormas dan peneliti pemilu.
Disampaikan juga bahwa pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang terbesar dan terumit di dunia. Pada Pemilu 2024 mendatang Indonesia melakukan enam jenis Pemilu dalam waktu satu tahun, yaitu Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden pada satu hari yang sama. Selanjutnya selang beberapa bulan kemudiaan diikuti dengan Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/Walikota. Jumlah pemilih hampir 200 juta yang tersebar di lebih dari 800.000 TPS, yang melibatkan 7,3 juta lebih anggota KPPS dan petugas keamanan, 36.260 anggota PPK di 7.252 kecamatan.
“Kebesaran Pemilu kita akan semakin jelas jika kita menghitung jumlah peserta dan calon, jumlah daerah pemilihan untuk setiap lembaga perwakilan, jumlah logistik yang harus disediakan dan distribusi yang harus dilakukan. Jumlah yang besar tersebut membutuhkan pengaturan yang rumit di setiap tahapan yang telah ditentukan kerangka waktunya,” ujar Menko Mahfud.
Editor : Frizky Wibisono