Tiga Tahun Menahan Nyeri, Rohidah Temukan Harapan Baru Lewat Layar Ponsel

Iqbal Maulana Bahtiar
Hendri (22) dan ibunya, Rohidah (41). Foto : iNewskarawang.id/Iqbal Maulana Bahtiar.

KARAWANG, iNEWSKarawang.id – Di tengah panas terik Karawang siang itu, seorang pemuda tampak menggandeng tangan perempuan paruh baya. Langkah mereka pelan, hati-hati, seolah menyimpan kisah panjang di balik gerakan sederhana itu. 

Mereka adalah Hendri (22) dan Rohidah (41), ibu dan anak yang datang dari pelosok Kecamatan Banyusari, Karawang. Perjalanan puluhan kilometer mereka tempuh sejak pagi, hanya untuk satu tujuan, mengharap kesembuhan.

Selama tiga tahun terakhir, Rohidah hidup berdampingan dengan nyeri sendi hebat setelah terpeleset di dapur rumahnya. Awalnya hanya rasa ngilu kecil, tapi lama kelamaan rasa sakit itu menjalar hingga membuatnya sulit berdiri dan berjalan. Aktivitasnya sebagai pedagang pun terhenti. Warung kecilnya di kampung nyaris tak tersentuh lagi.

“Kalau dulu ibu bisa jualan sendiri, sekarang buat jalan ke kamar mandi aja agak susah dan kadang harus dibantu,” lirih Hendri.

Setia Menemani, Walau Belum Membuahkan Hasil

Hendri, anak sulung dari keluarga sederhana itu, menjadi tumpuan satu-satunya. Setiap waktu luang, ia antar sang ibu berobat ke berbagai tempat. Dari tukang urut kampung, puskesmas kecamatan, hingga klinik swasta terdekat. Namun hasilnya nihil. Nyeri tak kunjung reda. Semangat sang ibu mulai redup.

“Sudah ke mana-mana, ke Puskesmas dan pengobatan alternatif sudah dicoba, tapi hasilnya sama. Ibu masih kesakitan,” kata Hendri, matanya menerawang.

Di rumah, mereka hidup dalam keterbatasan. Ayahnya seorang buruh tani yang penghasilannya tak menentu. Saat panen raya, sedikit lebih lapang. Tapi saat paceklik, dapur nyaris tak berasap. Di situlah Hendri memantapkan hati: apapun caranya, ia akan bantu ibunya sembuh.

"Ayah petani, jadi sibuk di ladang, saya yang antar ibu kemana-mana kalau berobat. Kalau adik masih kecil-kecil dan sekolah," timpalnya.

Harapan dari Layar Instagram

Hingga suatu malam, saat membuka ponsel, Hendri menemukan secercah harapan. Ia melihat unggahan Instagram tentang layanan fisioterapi dan penanganan nyeri sendi di RS Lira Medika Karawang.

“Awalnya iseng aja scroll Instagram. Tapi begitu lihat postingan soal nyeri sendi dan fisioterapi, saya langsung tunjukkan ke ibu. Kami sama-sama berharap ini jadi petunjuk kesembuhan ibu waktu itu,” kenangnya.

Besok paginya, tanpa banyak pikir, Hendri mengendarai motor mengantar ibunya ke rumah sakit. Jarak bukan soal. Puluhan kilometer mereka tempuh dengan harapan di punggung dan doa di dada.

“Kami memang tinggal di desa. Jalan ke kota jarang. Tapi ini ikhtiar kami. Barangkali di sini ibu bisa sembuh,” ujarnya, sambil menggenggam tangan sang ibu erat.

Terhalang Biaya dan Kurangnya Informasi

Bukan tanpa alasan keluarga ini baru mendapatkan penanganan lebih serius setelah tiga tahun. Keterbatasan biaya menjadi penghalang utama. Belum lagi kurangnya informasi soal fasilitas kesehatan yang tersedia di Karawang.

“Kalau tahu dari dulu ada terapi seperti ini, mungkin ibu nggak harus nunggu lama. Tapi kami benar-benar nggak tahu, apalagi soal fisioterapi. Di kampung cuma tahu urut dan puskesmas,” tutur Hendri.

Kini, setelah diperiksa oleh tim fisioterapi RS Lira Medika, Rohidah merasa lebih optimis. Diagnosa awal menyebutkan bahwa cedera yang dideritanya bisa ditangani dengan program terapi bertahap.

“Tadi diperiksa dan dikasih tahu soal program pemulihan. Mungkin nggak langsung sembuh, tapi ini lebih jelas daripada sebelumnya. Kami jadi semangat lagi,” ungkapnya, tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.

Ketulusan Seorang Anak, Semangat Seorang Ibu

Kisah Hendri dan Rohidah bukan semata soal penyakit. Ini adalah kisah tentang ketulusan, kesetiaan, dan cinta seorang anak kepada ibunya. Di usia muda, Hendri telah memikul tanggung jawab besar menjadi pelindung dan penguat ketika ibunya tak lagi mampu berdiri sendiri.

“Saya cuma ingin ibu bisa jalan lagi. Bisa ke pasar, bisa ketemu tetangga, bisa ketawa seperti dulu,” ucapnya pelan.

Bagi Rohidah, anaknya adalah pelita. Setiap kali nyeri menyerang, ia hanya perlu melihat wajah Hendri untuk mengingat bahwa ia harus bertahan.

“Kalau bukan karena Hendri, mungkin ibu sudah pasrah. Tapi dia yang terus dorong ibu supaya tetap semangat,” kata Rohidah, air matanya mengalir diam-diam.

Harapan Tersirat di Ruang Tunggu Pasien

Di ruang tunggu rumah sakit, mereka duduk berdampingan. Tak banyak bicara. Hanya genggaman tangan yang erat. Tapi dalam diam itu, ada harapan yang begitu besar. Bahwa suatu hari nanti, Rohidah akan bisa melangkah sendiri lagi. Bahwa perjalanan panjang dari Banyusari ke Karawang ini bukan sekadar jalan fisik, tapi perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik.

“Kami percaya, selama belum menyerah, pasti ada jalan,” ucap Hendri mantap.

Langkah mereka memang lambat. Tapi semangatnya melaju jauh. Di balik cerita sederhana ini, tersimpan pelajaran tentang pengorbanan, harapan, dan kasih tak bersyarat. Bahwa seorang ibu tak pernah berhenti percaya pada anaknya. Dan seorang anak, tak akan pernah lelah memperjuangkan ibunya.

Editor : Frizky Wibisono

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network