Kampung Cokelat sebagai objek wisata telah didirikan pada tahun 2014. Sejak awal didirikannya, pemilik wisata telah sepakat untuk menyerahkan semua urusan parkir pengunjung ke warga sekitar. Warga yang memiliki lahan yang cukup luas, diberikan kebebasan untuk membuka area parkir tanpa harus memberikan persentase apapun kepada pengelola wisata.
"Sejak itu, warga yang bertempat tinggal di area wisata ramai ramai membuka parkiran," papar Fauzi.
Dengan adanya pandemi Covid-19, paceklik ekonomi telah melanda. Kesulitan tersebut mulai dirasakan sejak pemerintah menyatakan Covid-19 masuk Indonesia. Seingat Fauzi mulai bulan Maret.
Tingkat kunjungan Kampung Cokelat terus menurun. Puncaknya ketika pemerintah menyatakan menutup semua tempat wisata. Seluruh warga Plosorejo yang hidup dari parkir, kelimpungan.
"Kami yang biasanya setiap hari mendapat pemasukan Rp600 ribu-Rp1,5 juta, gara-gara wisata ditutup, tidak ada penghasilan sama sekali," kenang Fauzi yang memiliki dua anak dengan si sulung duduk di bangku setingkat SMA.
Warga yang sebelumnya bermata pencaharian petani inginnya kembali ke sawah. Namun karena terlanjur mengandalkan parkiran serta jualan makanan dan minuman, kata Fauzi sebagian besar sawah telah disewakan.
Bahkan, tidak sedikit sawah yang diubah menjadi lahan parkir. "Saya juga termasuk di dalamnya. Luas area parkir yang saya punyai cukup untuk 25 (kendaraan) roda empat termasuk bus," tambah Fauzi.
Untuk bertahan hidup tidak sedikit warga yang terpaksa berutang. Dengan harapan pemerintah bisa membuka kembali wisata. Menurut Fauzi, ada yang bertahan dengan uang tabungan.
"Namun itu (uang tabungan) tidak cukup. Selama tiga bulan penuh, kami tidak ada pemasukan sama sekali," kata Fauzi.
Pada bulan Juli, wisata Kampung Cokelat kembali dibuka dengan memberlakukan protokol kesehatan…
Editor : Boby
Artikel Terkait