Pahalanya Luar Biasa Besar di Bulan Syawal, Beragam Amalan Sunah

Hantoro/Boby
Ilustrasi macam-macam amalan sunah di bulan Syawal. (Foto: Pixabay)

JAKARTA, iNewsKarawang.id - di bulan Syawal terdapat berbagai macam amalan sunah. Tentunya amalan ini sangat penting dikerjakan karena memiliki pahala luar biasa besar di baliknya.

Bagi pembaca pasti ingin tahu apa saja macam-macam amalan sunah di bulan Syawal? Ini penjelasannya :

1. Puasa enam hari 

Dilansir Muslimah.or.id, disunahkan puasa enam hari di bulan Syawal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن صامَ رمَضَانَ ثُمَّ أتبَعَهُ سِتّاً من شوَّالٍ كان كصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh." (HR Muslim)

2. Mengganti puasa sunah Sya'ban 

Dianjurkan mengqadha’ puasa sunah Sya'ban di bulan Syawal. ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang laki-laki, “Apakah engkau berpuasa di awal, tengah, atau akhir bulan ini?” Laki-laki tersebut menjawab, “Tidak.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Apabila engkau telah merampungkan puasa Ramadan, berpuasalah dua hari sebagai pengganti puasa sunah yang terlewat." (HR Bukhari dan Muslim dengan lafazh Muslim)

Ibnu Hajar mengomentari, “Hadits ini mengandung pensyariatan qadha’ puasa sunah”. Termasuk di dalamnya puasa bulan Syakban bagi yang belum sempat mengerjakannya.

3. Meng-qadha’ iktikaf 

Disunahkan mengganti iktikaf bagi mereka yang meninggalkannya di bulan Ramadan karena adanya udzur. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa iktikaf di setiap bulan Ramadan. Jika beliau selesai Sholat Subuh, beliau masuk ke tempat khusus yang beliau gunakan untuk iktikaf. Suatu ketika, Aisyah meminta izin kepada Nabi untuk iktikaf dan Nabi pun mengizinkannya sehingga Aisyah memasang tenda untuk iktikaf. Tak lama kemudian, Hafshah mendengar kabar tersebut sehingga beliau pun ikut mendirikan tenda. Berita itu juga sampai ke telinga Zainab sehingga beliau pun membangun tenda yang serupa. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai Sholat Subuh, beliau melihat empat tenda. Beliau pun marah, ‘Apa-apaan ini?’ Lantas disampaikan perbuatan ketiga istri tersebut kepada beliau. Beliau kembali bertanya, ‘Faktor apa yang mendorong mereka melakukannya? Berharap kebaikan? Bongkar tenda-tenda itu! Aku tidak ingin melihatnya!’ Tenda-tenda tersebut akhirnya dibongkar. Nabi pun tidak iktikaf di bulan Ramadan tersebut dan menggantinya di sepuluh hari terakhir di bulan Syawal." (HR Bukhari)

Ibnu Bathal berpendapat, "Iktikaf di bulan Syawal dan di bulan lainnya hukumnya mubah bagi mereka yang ingin melakukannya."

4. Umrah 

Dianjurkan berangkat umrah di bulan-bulan haji. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Dahulu kaum Quraisy berpandangan bahwa umrah di bulan-bulan haji termasuk kejahatan yang paling besar di muka bumi, mereka mengganti bulan Muharram menjadi bulan Shafar, dan mereka mengatakan, ‘Apabila luka telah sembuh, bekas-bekas haji sudah hilang, dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru dihalalkan umrah bagi mereka yang hendak mengerjakannya.’ Lantas, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya tiba di Mekah pada pagi hari ke-empat bulan Dzulhijjah. Mereka bertalbiyah untuk melaksanakan haji. Kemudian, Nabi memerintahkan mereka agar menggantinya menjadi umrah. Hal tersebut terasa berat bagi mereka sehingga mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja yang diperbolehkan?’ Beliau menjawab, ‘Semuanya halal’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sebab, sikap para sahabat tersebut adalah karena mereka menyangka terlarangnya umrah di bulan-bulan haji, padahal boleh melakukan umrah di bulan-bulan haji hingga hari kiamat. Tujuannya adalah membatalkan keyakinan Jahiliyah yang mengira bahwa umrah di bulan-bulan haji itu tidak diperbolehkan.

Qatadah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Anas, ‘Berapa kali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam umrah?’ Beliau menjawab, ‘Empat kali yaitu umrah Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah ketika beliau dihalangi oleh kaum musyrik, umrah di tahun berikutnya di bulan Dzulqa’dah ketika beliau berdamai dengan kaum musyrik, dan umrah Ji’ranah ketika beliau membagi harta rampasan perang Hunain.’ Aku pun kembali bertanya, ‘Berapa kali beliau haji?’ Anas menjawab, ‘Sekali.’” (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar menyanggah, “Akan tetapi, Sa’id bin Manshur meriwatkan hadits dari Darawardi, dari Hisyam, dari bapaknya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam umrah sebanyak tiga kali, yaitu dua kali di bulan Dzulqa’dah, dan sekali di bulan Syawal”. Sanadnya kuat. Diriwayatkan oleh Ibnu Malik dari Hisyam dari ayahnya secara mursal.

Namun, riwayat dengan lafazh ‘di bulan Syawal’ berbeda dengan riwayat lain dengan lafazh ‘di bulan Dzulqa’dah’. Komprominya, Nabi umrah di akhir bulan Syawal dan di awal bulan Dzulqa’dah. Hal ini diperkuat dengan hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Mujahid dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah umrah kecuali di bulan Dzulqa’dah." 

5. Menikah 

Disunahkan melangsungkan akad nikah di bulan Syawal apabila di suatu daerah muncul bid’ah yakni anggapan sial menikah di bulan Syawal. Pada saat tersebut, dianjurkan membangun rumah tangga di bulan Syawal untuk menyelisihi pelaku bid’ah.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku di bulan Syawal. Lantas, siapakah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beliau cintai melebihi diriku?”

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menyukai apabila para wanita dipertemukan dengan suaminya di bulan Syawal (HR Muslim)

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Maksud ‘Aisyah dengan pernyataan tersebut adalah membantah keyakinan Jahiliyah dan anggapan orang awam yang memakruhkan menikah dan berkumpulnya suami istri di bulan Syawal. Pendapat ini keliru dan tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan termasuk peninggalan Jahiliyah. Mereka dahulu tathayyur (beranggapan sial) dengan hal tersebut karena nama Syawal diambil dari kata isyalah yang maknanya mengangkat.”

6. Menjalin silaturahmi 

Amalan yang bisa dilakukan di bulan Syawal adalah menjalin silaturahmi. Apalagi ini sudah menjadi tradisi di Tanah Air ketika momen hari raya Idul Fitri.

Menjalin silaturahmi sangat dianjurkan Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam karena memiliki keutamaan sangat besar.

Dikutip dari Rumaysho, berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasulullah pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke surga, lantas beliau menjawab:

تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ

"Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orangtua dan kerabat)." (HR Bukhari nomor 5983)

Dari Abu Bakroh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

"Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini) –berikut dosa yang disimpan untuknya (di akhirat)– daripada perbuatan melampaui batas (kezaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orangtua dan kerabat)." (HR Abu Dawud nomor 4902, Tirmidzi 2511, dan Ibnu Majah 4211, shahih)

7. Qiyamul lail

Setelah bulan Ramadan, rutinitas ibadah qiyamul lail harus dilanjutkan di bulan Syawal. Salah satunya adalah sholat tahajud. Ada banyak keistimewaan mengerjakan qiyamul lail.

Sholat malam bisa menjadi sebab masuk surga dan menaikkan derajat di surga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali persaudaraan dan sholatlah ketika manusia terlelap tidur pada waktu malam niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat." (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Syekh Al Albani)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh di dalam surga tedapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Kamar-kamar itu Allah sediakan bagi orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, mengiringi puasa Ramadan (dengan puasa sunah), menebarkan salam, dan mengerjakan sholat malam ketika manusia lain terlelap tidur." (HR At-Tirmidzi, dihasankan oleh Syekh Al Albani) 

8. Memperbanyak sedekah 

Setelah pada akhir bulan Ramadhan menunaikan zakat fitrah, ketika Syawal bisa dilanjutkan dengan memperbanyak sedekah.

Dinukil dari laman Almanhaj, adapun keutamaan sedekah dapat meredakan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِيءُ غَضَبَ الرَّبِّ

“Sesungguhnya sedekah yang tersembunyi, (dapat) meredam murka Allah Ta’ala." (Shahih At-Targhib)

Sedekah juga menghapuskan kesalahan dan memadamkan percikan apinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

"Sedekah menghapuskan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api." (Shahih At-Targhib karya Asy-Syaikh Al-Albani)

Sedekah menjaga pelakunya terhindari dari api neraka, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

"Maka peliharalah (diri) kalian dari api neraka, sekalipun dengan sebiji buah kurma (yang disedekahkan)."

Pelaku sedekah berada dalam naungan sedekahnya pada hari kiamat nanti, sebagaimana hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ

"Setiap orang berada di bawah naungan amalan sedekahnya, hingga digelar pengadilan di antara manusia."

Yazid berkata:

وَكَانَ أَبُو مَرْثَد لاَ يُخْطِئُهُ يَوْمٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ فِيهِ بِشَيْءٍ وَلَوْ كَعْكَةً أَوْ بَصَلَةً أَوْ كَذَا

"Tidaklah satu hari Abu Martsad berbuat suatu kekeliruan, melainkan ia (segera) bersedekah dengan sesuatu apa saja di hari itu (juga). Meskipun hanya dengan sepotong kue (ka’kah) atau bawang putih atau semacamnya." (Terdapat dalam Ash–Shahihain)

Allahu a'lam bisshawab

Editor : Boby

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network