JAKARTA, iNewsKarawang.id - Seorang fisikawan bernama Gerard O'Neill merenungkan potensi masa depan umat manusia di luar angkasa. Dia menyimpulkan bahwa apa yang dipikirkan oleh rekan-rekannya salah.
Peristiwa itu terjadi pada pertengahan 1970-an.
Namun fisikawan itu menyadari, tak semua planet di Tata Surya layak ditinggali, meskipun banyak orang berbicara tentang bermukim planet-planet lain,
Mengutip BBC News Indonesia, kebanyakan planet yang hendak ditinggali ini memiliki atmosfer yang keras. Dan akibat gravitasi yang ada di Bulan, bolak-balik ke Bumi akan menghabiskan banyak sekali bahan bakar.
Alih-alih, O'Neill membayangkan sebuah permukiman yang melayang-layang, tak jauh dari Bumi, berbentuk seperti silinder.
Orang-orang bisa tinggal di dalamnya, dengan kota-kota yang hijau karena hutan-hutan, danau, dan ladang. Gagasan ini terdengar muluk, namun berkat visualisasi menakjubkan yang juga dibuatnya, mimpi O'Neill menginspirasi satu generasi.
Pada dekade 1980-an, seorang mahasiswa menghadiri seminar O'Neill di Universitas Princetown. Dia mencatat dengan teliti ide-ide profesornya.
Pemuda ini bertekad menjadi "entrepreneur luar angkasa" dan melihat permukiman di luar Bumi sebagai salah satu cara untuk memastikan masa depan umat manusia.
"Bumi ini terbatas," katanya kepada surat kabar sekolah menengahnya pada suatu waktu. "Dan jika ekonomi dan populasi dunia terus berkembang, ruang angkasa adalah satu-satunya tempat yang tersisa."
Kelak kemudian, dia berhasil mengumpulkan begitu banyak uang, yang sebagiannya kemudian dia pakai untuk mendanai ambisinya tersebut.
Nama mahasiswa itu? Jeffrey Preston Bezos.
Untuk memahami mengapa hartawan seperti Bezos ingin pergi ke luar angkasa, kita harus mengerti pengaruh yang mereka miliki. Bagi orang-orang awam, usaha korporasi Bezos, Blue Origin, dan beberapa kompetitornya mungkin tampak seperti proyek pamer untuk sejumlah laki-laki kaya, dengan roket yang terlalu mahal.
PADA pertengahan 1970-an, seorang fisikawan bernama Gerard O'Neill merenungkan potensi masa depan umat manusia di luar angkasa. Dia menyimpulkan bahwa apa yang dipikirkan oleh rekan-rekannya salah.
Pada saat itu, banyak orang berbicara tentang bermukim planet-planet lain, namun dia menyadari, tak semua planet di Tata Surya layak ditinggali.
Mengutip BBC News Indonesia, kebanyakan planet yang hendak ditinggali ini memiliki atmosfer yang keras. Dan akibat gravitasi yang ada di Bulan, bolak-balik ke Bumi akan menghabiskan banyak sekali bahan bakar.
Alih-alih, O'Neill membayangkan sebuah permukiman yang melayang-layang, tak jauh dari Bumi, berbentuk seperti silinder.
Orang-orang bisa tinggal di dalamnya, dengan kota-kota yang hijau karena hutan-hutan, danau, dan ladang. Gagasan ini terdengar muluk, namun berkat visualisasi menakjubkan yang juga dibuatnya, mimpi O'Neill menginspirasi satu generasi.
Pada dekade 1980-an, seorang mahasiswa menghadiri seminar O'Neill di Universitas Princetown. Dia mencatat dengan teliti ide-ide profesornya.
Pemuda ini bertekad menjadi "entrepreneur luar angkasa" dan melihat permukiman di luar Bumi sebagai salah satu cara untuk memastikan masa depan umat manusia.
"Bumi ini terbatas," katanya kepada surat kabar sekolah menengahnya pada suatu waktu. "Dan jika ekonomi dan populasi dunia terus berkembang, ruang angkasa adalah satu-satunya tempat yang tersisa."
Kelak kemudian, dia berhasil mengumpulkan begitu banyak uang, yang sebagiannya kemudian dia pakai untuk mendanai ambisinya tersebut.
Nama mahasiswa itu? Jeffrey Preston Bezos.
Untuk memahami mengapa hartawan seperti Bezos ingin pergi ke luar angkasa, kita harus mengerti pengaruh yang mereka miliki. Bagi orang-orang awam, usaha korporasi Bezos, Blue Origin, dan beberapa kompetitornya mungkin tampak seperti proyek pamer untuk sejumlah laki-laki kaya, dengan roket yang terlalu mahal.
Dan bagi sebagian orang, waktu yang mereka pilih untuk melakukan tamasya angkasa luar tidak bisa lebih tak sensitif lagi. Alasannya, itu dilakukan di tengah perubahan iklim, pandemi, ketimpangan yang semakin lebar, dan permasalahan dunia yang lain.
Namun yang mendasari para orang kaya ini adalah motivasi yang harus ditelaah lebih jauh lagi: gagasan untuk menyelamatkan umat manusia secara jangka panjang ke luar angkasa.
Bezos bukan orang pertama yang mengatakan bahwa pindah ke luar angkasa adalah satu-satunya cara untuk menjamin masa depan manusia.
Sejak satu abad lalu, sudah banyak orang yang bermimpi menciptakan peradaban di luar atmosfer Bumi. Mimpi ini kemungkinan akan terus diangankan oleh generasi-generasi mendatang, bahkan jauh setelah Bezos tiada.
Keyakinan bahwa kolonisasi galaksi bisa menyelamatkan masa depan umat manusia bisa dirunut sejak ratusan tahun lalu. Mungkin sulit untuk membayangkannya sekarang, namun ketika itu, tak semua orang percaya bahwa Semesta ini tak berpenghuni dan terbuka untuk ditinggali.
Hingga akhir 1800-an dan awal abad 20-an, banyak filsuf "merasa bahwa Semesta penuh dengan nilai-nilai dan humanoid", kata Thomas Moynihan, yang mempelajari sejarah intelektual di Universitas Oxford.
Dalam tulisannya baru-baru ini, dia mengatakan, ketika manusia membayangkan dunia yang lain, mereka juga memikirkan peradaban lain yang sudah tinggal di sana — alih-alih mengkhayalkan planet tandus dalam ruang hampa yang suram dan kosong melompong.
"Tidak ada yang membayangkan manusia pergi ke tempat lain dan kemudian meninggali luar angkasa yang sebelumnya tak berpenghuni," ujarnya.
"Sejak dulu, sudah ada kisah-kisah tentang perjalanan ke Bulan dan planet lain, bahkan cerita-cerita itu kerap dibumbui konflik, tapi bahkan itu pun hanyalah sebuah perjalanan. Perjalanan yang dilakukan untuk mencari penghuni yang mencurigakan, dan mirip dengan manusia."
Gagasan bahwa sebagian besar area kosmos adalah kosong — area besar yang bisa dijelajahi manusia — oleh karena itu, adalah kesadaran yang baru dalam sejarah manusia, kata Moynihan.
Apa yang membuat para cendekiawan mulai berpikir serius tentang permukiman di angkasa luar adalah kesadaran bahwa spesies kita bisa punah suatu hari nanti, entah karena kematian Matahari atau nasib buruk lain.
Untuk sementara, membayangkan akhir dari dunia selalu disertai dengan pesimisme. Namun di awal 1900-an, penemuan bahwa atom bisa mengandung kekuatan sangat besar memercikkan gelombang optimisme baru bahwa kolonisasi galaksi dapat menjadi solusi jangka panjang, lanjut Moynihan.
Salah satu ide paling menarik datang dari ahli roket Rusia, Konstantin Tsiolkovsky, yang membayangkan tinggal di atas asteroid dengan pesawat luar angkasa bertenaga nuklir.
"Bagian terbaik umat manusia, kemungkinan besar, tidak akan pernah mati, namun akan bermigrasi dari matahari yang satu ke matahari yang lain," tulis Tsiolkovsky pada 1911.
'Kosmisme Rusia' yang ditekuni Tsiolkovsky dan teman-temannya ini, menganggap peradaban Semesta sebagai narasi besar takdir manusia, dan mengajak spesies kita untuk menyebarkan kehidupan yang tak terbatas di kosmos
Akan tetapi, seperti yang kemudian oleh Moynihan, visi ini bukanlah visi kapitalis. Pada 1902, mentor Tsiolkovsky, Nikolai Fedorov mengatakan khawatir "para hartawan akan 'menginfeksi' planet-planet lain dengan eksploitasi mereka yang ekstraktif."
Sementara itu di negara Barat, visi sekuler penaklukkan galaksi juga mulai muncul.
Sosok berpengaruh lain adalah seorang insinyur Amerika bernama Robert Goddard, yang menciptakan roket berbahan bakar cair pertama di dunia.
Pada 1918, dia menulis sebuah esai yang terkenal berjudul, "Migrasi Akhir: Sebuah Catatan untuk Kaum Optimis" yang disebarkannya kepada teman-temannya.
"Di situ dia menulis, kalau kita bisa membuka misteri atom, kita bisa mengirim manusia ke luar sistem Tata Surya," ujar Moynihan.
Goddard membayangkan sebuah ekspedisi yang dapat membawa semua pengetahuan manusia, sehingga, dalam kata-katanya, "peradaban baru dapat dimulai sementara yang lama berakhir".
Dan jika itu tidak mungkin, dia mengusulkan ide radikal untuk meluncurkan "protoplasma", yang pada akhirnya bisa melahirkan manusia baru di dunia yang jauh.
Semua ini membuahkan gagasan bahwa jika manusia bisa bermukim di Bima Sakti, umat manusia bisa bertahan hingga triliunan tahun, kata Moynihan. Dan dengan berbagai cara, keyakinan ini telah mendasari visi permukiman galaksi — termasuk milik Bezos, dan miliarder luar angkasa lain, Elon Musk.
Saat remaja, Bezos membingkai ambisinya sebagai jalan menuju energi dan sumber daya tak terbatas yang tidak mungkin tercapai jika kita tetap tinggal di Bumi. Dan tak banyak yang berubah. Dia memandang ide permukiman di angkasa luar sebagai jalan untuk menyelamatkan spesies kita dari kehausan tak terpuaskan akan pertumbuhan dan sumber daya.
Jika semua terserah Bezos, maka umat manusia akan memindahkan semua polusi dan industri berat ke luar planet, dan dalam jangka panjang, manusia sendiri akan mulai bermukim di silinder-silinder O'Neill.
Dia mengakui bahwa dia tidak akan menciptakan masa depan itu, namun memandang dirinya sebagai "pembuka jalan", menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan generasi mendatang untuk membangunnya.
Musk lebih terus terang tentang risiko kepunahan dan beranggapan jika kita menjadi peradaban yang tinggal di multi-planet — di Mars, khususnya — maka bencana di Bumi tidak akan memusnahkan seluruh spesies kita.
Hartawan pemilik SpaceX ini bersemangat untuk menghindari gagasan "Penyaring Besar" atau "Great Filter", sebuah paradoks yang mengatakan bahwa semua peradaban di alam semesta menghadapi titik batas dalam evolusi mereka, dan pada akhirnya akan memusnahkan mereka
Musk berharap umat manusia bisa menjadi spesies pertama di galaksi yang bisa melampaui titik tersebut.
Meski begitu Moynihan menekankan bahwa argumen "pergi ke luar angkasa, selamatkan umat manusia" tak sekuat yang diperlihatkan para miliarder, terutama saat ini.
Abad ini, kita menghadapi segudang ancaman eksistensial yang tidak terlokalisasi dan dapat dengan mudah menyebar, dari pandemi hingga kecerdasan buatan. Ancaman-ancaman ini bisa saja mencapai luar Bumi.
"Terburu-buru menjadi penduduk multi-planet mungkin tidak bisa mencegah hal-hal buruk terjadi," kata Moynihan. "Dalam jangka pendek, memunculkan diskusi internasional tentang isu terkait risiko-risiko ekstrem mungkin lebih hemat ketimbang pindah ke Mars."
Dan bagaimana dengan perubahan iklim? Meski ini mungkin tak memicu risiko eksistensial, perubahan iklim sudah pasti akan membawa penderitaan bagi miliaran orang dalam waktu dekat — dan tidak ada proyek turisme luar angkasa atau permukiman galaksi di masa depan yang bisa menghindarkan kita dari dampak perubahan iklim saat ini.
Di tengah banjir, kebakaran lahan, dan gelombang panas yang melanda Bumi, banyak kritik ditujukan pada era perjalanan luar angkasa para miliarder. Berdasarkan tingkat keparahan masalah yang kita hadapi sekarang, beberapa orang seharusnya meninggalkan cita-cita permukiman galaksi — setidaknya dalam jangka pendek.
Sentimen ini salah satunya muncul dalam esai oleh penulis fiksi ilmiah Sim Kern, yang mengatakan, luar angkasa mungkin menawarkan ide memikat tentang memulai dari awal, tapi kenyataannya, "kita tidak bisa meninggalkan kekacauan ini, tak peduli sejauh apapun kita pergi".
Dan bagaimanapun, tulis Kern, kita sudah punya permukiman di dalam orbit yang cukup baik.
"Tempat itu sangat besar, cukup besar untuk menampung semua teman dan keluarga kita. Ada gravitasi yang bagus dan pelindung radiasi dalam bentuk atmosfer yang bisa dihirup. Ada energi terbarukan yang tak terhingga — Matahari — yang akan bertahan setidaknya semiliar tahun lagi sebelum dia menjadi terlalu panas dan terbakar
"Pesawat luar angkasa kita dihuni oleh lebih dari delapan juta bentuk kehidupan asing berbeda yang bisa kita pelajari, yang perilaku dan bahasanya baru sedikit kita pahami. Teman-teman berbeda spesies ini memberikan kita udara, makanan, obat-obatan, penyaring air — beberapa bahkan bernyanyi untuk kita, memberi wangi pada udara kita, dan membuat 'kapal' kita sangat indah."
Jika saja seluruh keturunan kita di masa depan menyetujui, maka kita bisa sampai pada "Skenario Bullerby", gagasan yang namanya diambil dari kehidupan pedesaan Swedia yang indah dalam buku anak-anak karangan Astrid Lindgren.
Skenario ini membayangkan umat manusia akhirnya memutuskan untuk mengabaikan luar angkasa dan alih-alih, fokus kepada Bumi. Membangun peradaban yang mapan dengan energi hijau, pertanian berkelanjutan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan tujuan jangka panjang? Jika kita bicara tentang ratusan dan ribuan tahun, maka migrasi ke Tata Surya dan Bima Sakti bisa dipikirkan secara lebih serius sebagai argumen untuk memastikan masa depan umat manusia.
Bahkan mereka yang tidak setuju proyek ini dimulai sekarang tidak akan membenarkan penundaan itu dilakukan sampai peradaban manusia hampir runtuh — ini akan menjadi bencana yang tak terbayangkan.
Rata-rata spesies mamalia memiliki masa hidup 1 juta tahun, yang mengisyaratkan bahwa suatu saat kepunahan akan terjadi pada manusia bila kita tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya.
Bencana yang bisa menghapuskan keberadaan manusia bisa terjadi jauh di masa depan. Tapi tak seperti binatang lain, manusia memiliki kecerdasan yang maju, sehingga banyak peneliti meyakini bahwa mengambil jalur "astronomis" di luar Bumi menjanjikan masa depan yang lebih lama bagi spesies kita. Jika kita memiliki permukiman di seluruh galaksi, umat manusia akan menjadi jauh lebih kuat.
"Saya lebih suka tidak menyimpan semua telur di keranjang yang rapuh," kata Anders Sandberg, dari Universitas Oxford. "Koloni luar angkasa jauh lebih rapuh ketimbang planet-planet, dan rentan, tetapi Anda bisa membangun lebih banyak," ujarnya.
"Jika kita sudah berhasil membangun koloni yang besar, maka Anda pasti bisa membangun lebih banyak koloni kecil. Dan pada titik ini, Anda sepertinya bisa mengurangi risiko."
Moynihan sepakat. "Benar, untuk umat manusia memenuhi potensi jangka terpanjangnya, kita harus merambah luar angkasa," tulisnya. "Bumi pada akhirnya akan tidak bisa ditinggali jika Matahari menua. Tapi Semesta luas akan tetap bisa menopang kehidupan — beribu-ribu tahun lagi"
Permasalahannya, bahkan di masa depan yang jauh, akan tetap ada alasan untuk tak memulai proyek kolonisasi galaksi. Akan selalu ada masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan di Bumi.
"Menjadi multi-planet adalah hal yang visioner di masa depan, tapi itu tidak akan pernah menjadi hal yang rasional untuk dilakukan," ungkap Sandberg.
Namun, dia mengutip filsuf George Bernard Shaw yang pernah berkata, "Semua kemajuan bergantung pada orang-orang yang tidak masuk akal".
"Mungkin yang dilakukan Bezos dan Musk tidak masuk akal, tapi bisa jadi itu tetap merupakan hal yang baik," ujar dia.
Apapun yang Anda pikirkan tentang generasi miliarder saat ini — prioritas mereka, kepribadian mereka, kekayaan mereka, sikap mereka terhadap ketimpangan karena perubahan iklim, atau perlakuan mereka kepada para pekerjanya — tidak bisa dimungkiri bahwa mereka telah membuat kemajuan signifikan dalam hal perjalanan ke luar angkasa dalam waktu singkat.
Apakah kiprah mereka seharusnya dilakukan oleh generasi di masa depan? Mungkin, tapi tak berarti kontribusi mereka sekarang tak berarti.
Sandberg mengingat percakapannya dengan Musk, jauh sebelum SpaceX mengirimkan roket pulang pergi ke angkasa, saat Musk mengunjungi dia dan rekan-rekannya di Institut Future of Humanity di Universitas Oxford.
"Dia menggambar sesuatu di atas serbet kertas di Grand Cafe Oxford, menerangkan kepada saya bahwa dia bisa membuat roket yang jauh lebih murah daripada yang dibuat NASA," Sandberg mengingat. "Saya hanya mengangguk dan berkata, 'Saya harap Anda benar'. Ya, dia telah membuktikannya."
Namun Sandberg mengingatkan, jika umat manusia pada akhirnya membangun peradaban galaksi untuk menyelamatkan masa depannya sendiri, peradaban itu tak perlu dibangun menurut ambisi dan keinginan satu atau dua miliarder di abad 21.
"Jika kita tidak mau luar angkasa ditentukan oleh visi beberapa orang saja, maka kita harus membuat keinginan kita diketahui," ujarnya.
Di masa depan, proyek untuk menyebarkan peradaban manusia ke luar angkasa bisa menjadi proyek yang luas, ketimbang satu dua orang dari Silicon Valley. Peradaban galaksi mungkin, pada akhirnya, bisa terjadi. Mimpi Bezos akan silinder O'Neill mungkin akan menjadi kenyataan.
Mungkin itu bisa menyelamatkan spesies kita. Tapi di mana pun kita berakhir, masa depan akan diukir oleh orang-orang yang tinggal di Bima Sakti, dengan prioritas dan keinginannya sendiri — yang hidup jauh setelah orang-orang kaya di abad ke-21 telah lama pergi.
Editor : Boby
Artikel Terkait