"Harus menerapkan model pembelajaran yang sifatnya bisa menyapa secara lebih hangat kepada siswa-siswi kita," imbuhnya.
Di tempat yang sama, Sekretariat Ditjen Pokja Perencanaan dan Efektivitas Guru dan Tenaga Pendidikan Andhika Ganendra yakin metode "kasih sayang" ini bisa jadi membuat perubahan penting di 25 sampai 30 tahun mendatang.
"Ada seorang anak yang dulunya membenci matematika. Saat duduk di kelas 2 SMP, perasaan bencinya itu berubah jadi suka gara-gara seorang guru matematika SMP yang kerap mengusap kepalanya di sela mengajar. Anak itu tidak awalnya heran, kenapa kepalanya diusap, namun di sisi lain timbul perasaan untuk tidak mengecewakan gurunya itu. Perasaan tidak ingin mengecewakan itu mendorongnya untuk belajar matematika sampai pada titik ia jadi gemar dan menyukai pelajaran eksak itu. Ia lalu tumbuh menjadi anak yang berprestasi di bidang matematika. Ia jadi peserta olimpiade, bahkan kuliah di jurusan Fisika ITS. Setelah dewasa, anak itu yang kini mengusulkan kebijakan rekrutmen guru berdasarkan penilaian kepribadian, tidak hanya kognisi," kisah Andhika di hadapan puluhan guru PAUD saat mengisi workshop.
Andhika berharap semua guru bisa seperti guru matematika dalam cerita itu. Agar di masa depan, tidak hanya satu anak saja yang bisa mengubah kebijakan.
Editor : Boby
Artikel Terkait