JEJAK sejarah mencatat, Bung Karno pernah dibuang ke Ende akibat kegiatan politiknya yang membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda.
Soekarno yang belakangan menjadi proklamator kemerdekaan RI itu diasingkan di Ende, Pulau Flores, sejak 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938.
Pemerintah Belanda mengasingkan Bung Karno didasari oleh pertimbangan-pertimbangan bahwa tokoh ini yang secara terus terang memperjuangkan kemerdekaan daerah jajahan Belanda.
Taman Renungan Bung Karno di Ende, NTT.(Foto:Koran SINDO)
Namun dalam pengasingannya di Ende itu lah Bung Karno justru berhasil merumuskan Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Kisah soal penemuan Pancasila oleh Soekarno di Pulau Ende itu memang sudah banyak diketahui publik secara luas karena menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kemerdekaan bangsa.
Namun tak banyak yang mengetahui, Soekarno juga sempat menjadi pedagang kain saat diasingkan di Ende.
Cucu Soekarno, Puan Maharani mengungkapkan, kakeknya itu berjualan kain di Ende guna menambah penghasilannya.
Sebab, sebagai orang buangan Belanda, Bung Karno hanya memperoleh tunjangan dari pemerintah kolonial dengan nilai tidak mencapai sepuluh dollar seminggu setelah dikurangi pajak.
"Oleh karena itu kakek saya mencari tambahan penghasilan dengan menjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung," tutur Puan.
"Bung Karno saat itu bekerjasama dengan pengusaha tekstil asal kota Bandung yang memang sudah lama menjadi kenalannya," sambung Ketua DPR ini.
Puan mengatakan, Soekarno memperoleh komisi 10 persen dari setiap barang yang berhasil dijualnya.
Sosok pejuang kemerdekaan yang belakangan terpilih menjadi Presiden pertama RI itu bahkan berkeliling dari rumah ke rumah dengan membawa contoh pakaian yang ditawarkan.
"Bung Karno saat itu tahu betul kain yang dijualnya akan laku karena harganya lebih murah dari toko-toko di Ende, namun kualitasnya lebih baik," kata Puan.
Setelah ada yang tertarik dan memesan, Bung Karno lalu mengirimkan uangnya via pos wesel ke toko itu. Selang beberapa waktu, kain pesanan tersebut pun datang.
Jadi Iklan di Koran
Belakangan, tulisan tangan Soekarno saat bersurat dengan pengusaha kain di Bandung itu dimuat di koran Sipatahoenan pada terbitan 12 Juni 1936.
Yang memuat iklan itu tak lain adalah sang pengusaha kain, Tan Tjoei Gin.
Dalam iklan itu, terlihat tulisan tangan Soekarno memuji kain yang diproduksi Tan.
Berikut bunyi lengkap tulisan tangan Soekarno tersebut, yang ditujukan kepada Tan Tjoei Gin tertanggal 5 Mei 1936.
"Toean poenja kain-kain wol memang djempol. Doeloe, waktoe masih ada di Bandoeng, semoea saja poenja keperloean pakaian saja selaloe ambil dari dari toean poenja toko. Dan sekarang di Endeh, walaupoen boeat saja sendiri saja tidak bisa beli apa-apa, maka toeh boeat saja poenja sobat-sobat orang Endeh jang ingin berpakaian bagoes, saja tolong pesankan bakal-bakal pakaian kepada toean poenja toko djoega. Dan saban kain-kain datang, mereka selaloe berkata dengan gembira: "pawe he, toea, pawe! " Artinya: "Bagus selaloe, toan, bagoes sekali!"
Tulisan tangan tersebut diakhiri goresan tanda tangan Bung Karno. Dalam iklan itu, Tan Tjoei Gin juga menuliskan sejumlah kata-kata yang mengajak orang berbelanja ke tokonya:
"Di ini zaman perlintasan, di ini zaman kemadjoean, kita berpakean boekan hanja oentoek menoetoepkan anggota badan kita. Kita orang berpakean, jang teroetama ontoek mengoendjoek bahwa kita ada sebagi bangsa, ada harga penoeh sebagi lain-lain bangsa, sebagi manoesia kita poen tidak lebih koerang dari oemat Toehan jang mana poen! Oentoek Noesa dan Bangsa Toean dan Njonja dateng pada: "Pasoendan" Oentoek Keperloean Pakaian datanglah pada: Groot WOLLEN MAGAZIJN Firma Tan Tjoei Gin Pasar Baroe 50 Bandoeng.
Terlihat betul ada nada-nada nasionalisme/pergerakan kebangsaan dalam tulisan tersebut meskipun cuma berupa iklan.
Tak lama setelah iklan itu terbit, Tan Tjoei Gin sempat ditangkap dan diinterogasi oleh Belanda karena dianggap menyebarkan iklan provokatif.
Tan baru dilepaskan setelah dia menjelaskan bahwa tidak ada tujuan politik di sana. Hanya promosi kain semata.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta