JAKARTA, iNewsKarawang.id-Dari sederetan tokoh penyebar Islam di pesisir utara Jawa, Saridin atau Syekh Jangkung menempati tempat istimewa.
Pasalnya Tokoh yang dikenal dengan sebutan Sunan Landoh ini bukan hanya dikenang karena dakwahnya yang membumi, namun kisah karomah dan perilaku nyentrik yang melekat sepanjang hidupnya.
Saridin lahir sekitar 1540 Masehi dan memiliki nama asli Sayyid Raden Syarifuddin. Ia adalah putra dari Sunan Muria dan Dewi Samaran, sekaligus cucu dari Sunan Kalijaga dari jalur ayah.
Kemudian Saridin tumbuh dalam suasana intelektual Islam yang kental di masa peralihan antara Kerajaan Demak, Pajang, hingga awal Kesultanan Mataram.
Dikutip dalam buku Kisah 31 Nabi dan Wali Songo (2015), dikisahkan Saridin menimba ilmu di bawah asuhan Sunan Kudus. Sejak masih menjadi santri, ia telah menunjukkan perilaku yang kerap menimbulkan keheranan antara lain lewat uji spiritual dan karomah yang sulit dinalar secara akal.
Salah satu kisah masyhur terjadi ketika Sunan Kudus mengujinya dengan pertanyaan: apakah semua air mengandung ikan? Saridin menjawab yakin, “Pasti ada.” Sunan Kudus kemudian memetik buah kelapa segar dan membelahnya. Ajaibnya, di dalam air kelapa itu berenang beberapa ekor ikan kecil. Para santri terperangah, namun sang guru hanya tersenyum tipis.
Karomah lain terjadi saat Saridin diminta mengisi bak mandi pesantren. Ia diberi keranjang rumput berlubang, bukan ember seperti santri lain. Secara mengejutkan, air yang dibawa dengan keranjang itu tidak tumpah sedikit pun. Bak mandi pun penuh.
Namun, keistimewaan itu justru dianggap mengusik ketertiban pesantren. Sunan Kudus memintanya pergi. Dalam perjalanannya, Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang menyarankannya untuk menjalani tirakat di laut.
Tak pandai berenang, Saridin terseret arus dan terdampar di Palembang. Dari sana, ia berkelana hingga ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agama. Sepulangnya ke tanah Jawa, ia memilih bermukim di Desa Miyono, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah daerah yang kelak menjadi pusat dakwahnya.
Saridin menikah dengan Raden Ayu Retno Jinoli, putri Sultan Anyakrawati dari Mataram, serta dikisahkan pula menikah dengan putri dari Kesultanan Palembang, Raden Ayu Retnodiluwih. Dari pernikahan pertamanya, lahirlah Raden Bagus Momok Landoh.
Hingga wafatnya pada 1641, Syekh Jangkung menetap di Pati. Makamnya yang terletak di Desa Landoh kini menjadi destinasi ziarah spiritual yang tak pernah sepi peziarah, terutama pada malam Jumat dan bulan-bulan tertentu dalam kalender Hijriah.
Tradisi dan Warisan
Keberadaan Syekh Jangkung menjadi simbol penting dalam tradisi Islam lokal di Jawa. Ia dikenal sebagai penyampai dakwah yang lentur, menggabungkan nilai-nilai sufistik, humor, serta pendekatan yang inklusif terhadap masyarakat.
“Beliau bukan hanya wali, tapi juga guru kehidupan,” ujar Romo Kyai Ahmad Zainuri, salah satu pengasuh pondok di Kayen.
“Ajarannya banyak tersebar dalam bentuk tutur lisan, lakon pewayangan, hingga budaya sedekah bumi.”
Saridin menjadi contoh bagaimana spiritualitas Islam menyatu dalam lanskap budaya Jawa. Perjalanannya menegaskan bahwa jalan dakwah tidak selalu linear, kadang aneh, penuh ujian namun berbuah hikmah bagi generasi setelahnya.
Editor : Boby